Paragon
Berguling saat matanya tiba-tiba tertutup kembali. Rea
merasakan tubuhnya sedikit remuk di bawah gulungan selimut yang belum ia lipat
seharian. Lampu temaramnya mengisi seluruh ruangan kamar. Gerakan yang impulsif
mengabaikan hujan yang mengguyur permukaan
.
Ia bangkit saat perutnya demo besar-besaran. Tempat
itu sedikit melilit, entah sebab periodenya datang awal bulan atau perutnya sakit
sebab belum di kasih makan. Dia rasa
keduanya.
Alasan tepat untuk menyibakkan selimut yang sedari
tadi memeluk tubuh. Mengabikan potongan kerta origami dan dus yang berserakan,
membiarkan buku dan gorden kamar yang terbuka mempertontonakn visualnya,
sedikit menyenggol ngunting kecil yang kebetulan berada menghalangi jalannya,
menghea nafas dan membuka pintu.
Senyap.
Itu yang ada di baliknya.
Seluruh isi
rumah terisi dengan suara kompor dan minyak yang Bersatu. Mereka bekerja sama dengan perempuan itu kali ini.
Rambut cepol berantakannya ia hiraukan. Setelah menyiangi buncis dan mencucinya.
Ia kembali ke tempat kompor berada. Harum bawang putih menguar di penciuman.
Wanita itu bergerak gesit menyelesaikan pekerjaan sebab perutnya sudah tak
tertahankan minta diisi. Menyuduk nasi hangat dari tempatnya. Ia mengucapkan
terima kasih sebab setidanya tangannya terampil membuat tumis buncis bawang
putih.
Rea duduk di atas meja makan. Merasakan hawa dingin
menusuk tulang punggung dan hening menyapa setiap sudut rumahnya. Ia mengambil
satu porsi, membawa suapan pertama pada mulut sembari otaknya mengingat dan
memastikan bahwa ia telah mencuci bersih tangannya!
Kunyahan pertama yang di isi dengan kebisuan. Buku
kecil tersangkut di tangan kiri. Baunya merangsek penciuman memperjelas selama
apa umur buku yang kusam ini berada. Sedetik kemudian ia menghentikan kuyahan,
sedikit hilang selera makannya sebab bau itu mengganggu. Hanya saja ia tak mau membiarkan perut malangnya berbunyi terus di
tempat tidur. Wanita itu susah payah mendorong kunyahannya seakan ia baru saja
menelan sebongkah batu.
Matanya masih berusah mencerna apa yang susunan kata
itu sampaikan sebanyak ia mengingat bahwa ia telah mencuci muka pagi ini.
Makanannya berlanjut ia lebur dan telan sampai wanita itu tak memiliki sisa
apapun di piringnya.
Ia berjalan membawa piring kotor dan mencuci tangan.
Meminimalisir asam lambung yang bisa saja naik saat berbaring, jadi ia membawa
dirinnya kembali duduk di meja makann, mengambil handphone. Mencari
sesuatu yang bisa ia temukan di benda tersebut meski hanya membolak balik foto
lama, jengah sebab internet mati bersamaan listrik yang padam.
Sekelebat bayangan muncul. Ia menghela nafas berat
sebab teringat empat judul cerita yang ia habiskan sepanjang hari ini. Benda
persegi itu teronggkok di meja makan di biarkannya meredup. Beralih menatap
buku kusam yang ia temukan di rak buku sewaktu tak sengaja meliriknya.
Buku tua yang di terbitkan penulis Merry Asmara entah
tahun berapa. Cetakannya bahkan tak menampilkan daftar isi atau semacamya. Yang
ia tahu hanyalah judul “Mutiara Dibalik Pelangi” tercetak jelas di sampul
menapilkan satu wanita dan dua pria di belakngnya. Buku jadul tapi masih
mengesankan untuk di baca. Rea tak tahu ini miliki siapa. Mungkin miliki teman
ibunya yang tak sempat ia kembalikan di masa sekolahnya dulu. Ya anggaplah
begitu sebab sejarah selama ia bisa calistung. Sumpah tulis tangan yang di
bubuhkan di halaman pertama benar-benar ejaan yang belum sempurna.
Name: Wiwin Eka.
School: es-el-te-pe en-ege-ry tiloe lima.
Bandoenk!
Terbubuh apik dengan tinta yang tak memudar. Dan jika
meniliknya lebih dekat, maka kalian akan menemukan kalimat yang berbunyi “Aku
benci hidup ini, kenapa…” Dengan font tulisan yang jauh berbeda dari
yang pertama. Rea yakin orang yang menulis ini merupakan dua orang yang berbeda
meski tertulis dibuku yang sama.
Hujan masih berloba di luar sana meski tak sebesar
sebelumnya dan sekarang ia kehilangan akal untuk bekerja mengisi waktu
luangnya.
Membalikan badan, memutuskan mencuci piringnnya tadi.
Berjalan menuju mesin cuci dan melihat isinya. Rasanya tak terlalu
mengembirakan meski ia tak jadi memiliki waktu luang. Pakayan di dalam sana
membuatnya menghangat. Ia diam-diam bersyukur sebab listrik menyala di waktu
yang tepat.
Bunyi potekan pintu merangsek telinga, menyaksikan
adik laki-lakinya keluar dari kamar. Celana trining dan kaos oblong
menghentikan gerak mulitnya. Handphone di genggaman dan ia tak perlu bertanya
untuk tahu adiknya pergi kemana.
Gumaman, “Aku keluar,” dari sang adik memecahkan
hening. Menghangatkan meski di waktu bersamaan meninggalkan kembali kekosongan bergema.
Suara mesin cucinya pasti kalah berisik di banding detak jantungnya. Remasan
kecil ia lakukan di handphone sebelum membuka semua media sosial yang ia punya.
Di dalamya hanya berisi kesenangan dan ke gelisahan. Wanita itu tertawa
terbahak menyaksikan meme yang di kirimkan entah oleh siapa. bergulir ke bawah.
Melihat komen anonim seakan ia bisa jadi manusia gua tertiggal jaman jika tak
membacanya opininya.
Kekosongan masuk ke gendang telinga. Baru menyadari
mesin cuci yang mati dan ia menyelesaikan pekerjaannya. Mengeringkan pakaian,
kembali ke kamar membawa buku dan handphonenya. Sebelum menjadi
tringgiling kembali, ia teringat kejadian pagi tadi.
Amarah mengepul di atas kepala ibunya, sama seperti
yang ia punya.
“Kenapa kau sangat suit di ajak bicara. Aku ibumu,Re.
Ibumu!”
Perempuan itu meninggalkannya tanpa menutup pintu
seperti yang biasa ia lakukan. Menyisakan keterdiamannya bersama rasa
penyesalan yang Rea tampik. Tapi kejadian tadi malam menguasainya. Matanya
sedikit berkaca-kaca. Perasaannya baik beberapa jam sebelum mereka semua
terlelap.
“Mah, dan aku tak suka saat dia begitu angkuh. Dia
bicara omong kosong sebelum menjatuhkan seolah rencana yang dia susun adalah
yang paling baik di dunia. Padahal sebelum kedatangan dia pun, acaranya selalu
berjalan sesuai harapan meski tak memenuhi ekpetasi semua orang. Dan aku ….”
Kalimatnya terpotong, matanya buram dengan nafas yang
tercekat. Ia tak melanjutkan perkataan. Bibirnya kering dan kelu seakan batu bata
menghantam pita suaranya. Ibunya masih di sana, di depan pintu. Hanya saja
suaranya yang cepat tanggap menanggapi adiknya yang borkoar-koar membuat dada
Rea mengepul. Otaknya tak mampu membentuk kosa kata yang tepat. Fokusnya
teralih menyakskan sang ibu menjauhi pintu kamarnya, mengambil apa yang adiknya
inginkan meskipun ia tau anak itu bisa mengambilnya sendiri. Seluruh perhatian
tertuju pada keinginan si adik.
Rea berfikir ibunya mendengarkan apa yang ia ocehkan.
Sayang, mungkin sebenarnya tidak. Mungkin ibunya bosan mencerna
kalimat-kalimatnya di dalam otak. Atau mungkin ia lelah dengan apapun yang ia
ingin dengar dari mulutnya. Seharusnya Rea sadar diri. Seharusnya Rea terbiasa
untuk itu. Seharusnya Rea menerima tindakan ibunya pada si bungsu karena perempuan
tempat ia di lahirkan itu juga pernah berkata untuk tak merasa iri pada
adiknya. “Kasih sayang kamu dapatkan sebelumnya dan biarkan adikmu merasakan
hal yang sama.”
Ya, seharusnya Rea menerima itu. Seharusnya Rea tak
perlu merasa hidupnya menyedihkan dan menderita seperti orang yang haus akan
perhatian. Ingatanya kembali pada perkataan ibunya di masa lalu. “ Diam!
Kamu ini bisa tidak menurut saja? Jangan banyak tanya!” Kalimatnya tak menggema, kok. Tak terdengar
seperti saat-saat perempuan empat puluh tahun itu akan meledakkan telinganya.
Itu lembut seperti kapas. Suaranya seperti angin yang berhembus
halus. Angin kemarahan. Rea tak menyukai setiap inci dari dirinya. Rea rak suka
setiap tingkah menjengkelkannya. Ibunya seringkali mengingetkan diri untuk sadar.
Sadar yang entah dalam konteks apa. Mungkin ia
menyuruh sadar untuk berhenti membawa ego dan emosinya sendiri yang bisa saja
menyembur keluar tanpa di minta. Bahkan ia ingat pernah melemparkan piring ke wastapel
sampai benda itu pecah. Ia juga pernah menendang lemari sampai pintu kecil itu
terlepas dari engsel. Kemarahan yang tak bisa ia kendalikan memangsa hidupnya
menjegal di atas kepala. Tiap kali sikapnya terlihat, sura-suara itu juga
memenuhi isi kepala.
“Bisa tidak kamu baik untuk hari ini
saja?”
“Mama lelah memberimu pembelaan pada orang
lain seolah kau orang baik di rumah. Kau harus berterima kasih untuk itu.”
“Mama selalu menetupi keburukanmu di
hadapan tetangga."
Selain itu saban hari juga dia pernah berkata, “Bahkan
kerabatmu tahu sikap jelekmu. Orang jauh yang hanya setahun sekali datang
berkunjung tahu kelakuanmu berbeda dari sodaramu yang lain!”
“Seharusnya kamu berpikir!”
Menghentikan kerja otaknya. Ia alihkan pandangannya ke
layar ponsel. Menekan kelopak mata untuk berhenti menyumbang air mata yang tak
perempuan itu butuhkan. Mencoba mengalihkan semua perhatiannya pada alur cerita yang orang lain susun. Diam-diam ia
bertaruh dengan dirinya sendiri. “Aku akan melanjutkan ceritaku jika mamah berblik
dan menyuruhku. Tapi kalu tidak, maka perkataanku mungkin hanya sampah busuk di
tempat pembuangan.”
Sebanyak ia menunggu. Sebanyak itu pula ibunya tak
pernah memutar tubuh untuk meminta.
“Ya, harusnya
sikap sombong tak dimaja manusia. Seharunnya kita netral saja. Kau tahu
seniormu anak kuliah yang baru masuk masyarakat selam bertahun-tahun. Jika kamu
tak suka dengan caranya yang hanya melibatkan orang-orang yang sama-sama
lulusan sarjana untuk acara itu. Coba bicara lagi padanya.” Terakhir ia berjalan
ke dapur dan entah apa salanjutnya. Yang pasti ia tak datang kembali ke kamarnya
malam itu.
Rea menatap ruang TV yang gelap. Membiarkan pintu
kamarnya terbuka seolah ia butuh undara banyak selain dari jendela yang ia
buka. Perhatiannya terbagi mencerna ucapan sang ibu sesaat hatiya menyahut.
“Kalaupun bisa, aku tak perlu memberi tahumu.”
Rea hanya butuh penghargaan yang harus para seniornya
berikan untuk anak-anak yang tak melanajutkan sekolah tinggi. Seharusnya mereka
melibatkan temannya yang meski bekerja di toko terdekat atau anak-anak
seumurnnya yang memilih berkebun di ladang. Mereka remaja. Mereka sama-sama
masih muda dan tak melibatkan mereka terlalu agul untuk di sebut organisai
pemuda pemudi.
Dia merasa itu kurang adil untuk temannya. Anggota
kepanitian di bentuk dengan orang-orang kuliahan di dalamnya. Dan temannya
tidak di libatkan. Dan teman-temannya di anggap kurang bisa memahami
tugas-tugas yang akan mereka berikan. Padahal selama mereka
bersekolah ke kota-kota. Kampungnya masih bisa melangsungkan acara meriah
setiap tahun. Aktif pengajian, acara besar-besar masih bisa di laksanakan meski
tanpa mereka. Meski organisai tak secara terstuktur di tulis dan di data
sedemikian rupa. Tapi itu selalu sukses tanpa protes dari para tetangga. Dan
apa yang di lakukan orang-orang jebolan kuliahan ini tak pernah Rea sukai. Ia tak menyalahkan
mereka sebab secara tidak langsung menguasai seluruh kegiatan di lingkungannya.
Tapi nama organisasi “Persatuan pemuda/pemudi”
membuatnya ingin muntah. Jika teman seumurannya tak di libatkan kenapa di sebut
persatuan? Seharunya sebut saja Pertemuan anak-anak kuliahan.
Sebab ia tak menutup mata pada apa yang terjadi di
dalam lingkungannya. Ia tak buta untuk melihat begitu terhormatnya orang yang meneruskan
sekolah. Sebab dengan begitu, semua orang beranggapan ilmu mereka lebih tinggi
dan pengalaman mereka lebih banyak.
Memang tidak salah. Itu semua kebenaran. Rea percaya
organisasi yang mereka ikut begitu banyak memberi mereka banyak ilmu untuk di
salurkan. Hanya saja, mengingat manusia memiliki sikap congkak dan ponggah
membuat perutnya terasa mual. Dan itu terbawa sampai ia mampu tertidur pukul
tiga.
Paginya ia terbangun sebab suara ibunya merangsek
telinga. Suara alarm tak kalah menggelegar di samping telinga. Enatah berapa
lama ibunya berbicara mengirimi banyak pesan untuk ia tunaikan selagi wanita
itu pergi.
Ponselnya ia matikan sembari mencerna angka di layar Lcd
itu. Angka lima tercetak di sana dan ia bersyukur sebab setidaknya mampu tidur
beberapa jam. Kembali membuka capslock saat deretan kalimat tercetak di
layar. Ia melanjutkan cerita yang beberapa jam ia baca. Kembali bergulir ke
atas megingat-ingat hanca yang tertunda. Cukup ceritanya.
Koar-koarnya hanya mampu ia sumbangkan pada hembusan
nafas yang ia hirup. Kepalanya pusing. Wanita itu meringkuk kembali setelah
menjemur pakaian. Menyimpan ponsel di sisi telinga kembali mengabaikan
gelembung kalimat yang muncul di notifikasi.
Grup Persatuan Pemuda/pemudi:
Jadi fix yah nanti sore kita kumpul.
4 April 2023
Thirddxs

Komentar
Posting Komentar
Anda dapat berkomentar apapun