Ranggas
Aku berjalan menuju ruang tamu di dalam rumahku. Handphoneku mati setelah semalaman kugunakan menonton konser boyband kesayangan.
Semua arus listrik menuju kamarku mati total. Entah apa yang terjadi, aku tak tahu. Aku juga tak berniat melapor apa-apa pada orang tua. Bukan masalah besar juga.
Selang beberapa menit diriku hanya berdiri di tempat itu, "Aku akan melakukan apa hari ini?"
Merasa lesu sebab aku belum membuat jadwal aktivitas baru. Entah sejak kapan tubuhku bergerak, tapi kala mataku menangkap sesuatu di rak sudut ruangan. 'Ah, Itu 'kan botol spray pelicin
pakaian.'
Aku tak ingat kapan terakhir kali kugunakan. Sebab aku memfungsukan cairan wangi itu hanya
untuk serangam sekolah juga baju kusut yang kubeli setahun sekali saat hari raya, tentu saja. Hanya itu, sampai tiba-tiba pikiranku melayang. Ingatanku terpancing kala orang-orang bermasker itu membuka suara pada awak media.
'Ya, sebab virus ini masih belum bisa terpulihkan, maka dari itu ajaran baru tahun ini belum bisa di laksanakan secara tatap muka.'
Ah, aku tak ingat sebenarnya apa yang di umumkan. Tapi, kurang lebih seperti itu, kurasa.
Yang bisa kulakukan hanyalah menghela nafas kembali. Bila saja aku memiliki kekuatan untuk membasmi virus. Akan kupastikan orang itu tak 'kan perah berkata sedemikian rupa. Sebab aku hanya ingin pergi ke sekolah. Hanya-ingin-pergi-ke-sekolah.
Itu saja. Bukannya aku tak senang di rumah. Tapi, sebab aku memang berfikir begitu dari mula sekolah menjadi tempat baru ke duaku.
Aku bukan orang rajin belajar, bukan pula anak tenar yang sana sini di bicarakan semua orang. Sekolahku hanya sebatas tempat ternyaman menghabiskan waktu. Sebab itu aku ingin berlama- lama di sana.
Selebihnya, tak ada. Teman-teman kelas?
Aku tak yakin akan hal itu.
Hari ini, 01 Januari 20xx. Pergantian malam tahun baru kuhabiskan tertawa bersama para teman kecilku. Sebanyak itu pula hatiku berkata, "Setelah ini, aku hanya akan kembali ke rumah."
Entah apa itu. Entah mungkin sebab aku tak begitu tertarik pulang atau mungkin sebab tak ada yang istimewa saat aku menginjak kembali bangunan itu.
Mamaku tak pernah menuntutku untuk rajin belajar, bapaku juga. Mereka memintaku agar jadi anak baik dan jujur.
Aku tak bisa mengatakan keinginan itu sulit, tapi aku juga tak menyimpulkan bahwa itu hal yang mudah.
Meski begitu aku sedikitnya memiliki keinginan lain, seperti mimpi, cita-cita, harapan, atau hal-hal
sejenisnya. Walaupun aku tak terlalu yakin.
"Seorang gadis harus memiliki image yang baik, lemah lembut, perhatian, dan ramah. Maka dari itu kau akan cepat-cepat punya jodoh. Lagian punya keinginan tinggi-tinggi juga, ujung-ujungnya kau
hanya akan berada di rumah, mempunyai suami bertanggung jawab dan mengurus anak. Itukan impian terbesar para wanita," kata orang. Yang entah siapa. Tapi, itu memang sudah meraja lela di
pendengaranku.
Aku tak tahu apa itu merupakan pernyataan yang benar-benar, benar. Atau hanya perkataan dari orang-orang yang memang hanya sebatas itu mengartikan sebuah hidup.
Tapi, bagaimana aku bisa menerima 'Impain terbesar para wanita' yang mereka katakan seandainya itu di tujukan padaku. Harusnya mereka menilik wanita yang mana dulu.
Apa wanita sepertiku? Yang katanya mempunyai tempramen buruk di antara para angota keluarga yang lain.
Itu?
apa impian itu di tujukan padaku juga?
Sayangnya, orang tuaku juga tak beda jauh. Mereka pasti sama-sama terpengaruh kalimat itu. Hingga apapun yang aku raih mungkin tak terlalu berharga untuk mereka.
Bukan berarti aku ingin menjelekan sikap mereka pada semua orang. Mereka baik, tak pernah mendikteku dengan keinginan mereka. Tak pernah menentang, ataupun memaksa.
Semua yang ingin kulakukan bisa ku perbuat. Apapun, apapun itu. Mereka percaya padaku.
Atau setidaknya itu yang kupikirkan saat diam-diam untuk pertama kalinya aku menghisap sebatang rokok hingga tandas.
Mama dan bapak tak tahu, kakak dan adikku juga. Kemungkinan besar mereka akan tak suka jika perempuan merokok. Tapi, aku tak peduli.
Percaya yang mama maksud adalah aku yang tak akan melakukan having sexs sembarangan. Dan, yah. Aku menuruti apa katanya.
Saat aku berada di ruanganku setelah membereskan rumah mamaku berkata, "Lihat, anak tetangga sana membantu orang tuanya mencari uang, padahal dia laki-laki. Beruntungnya mereka mempunyai anak baik seperti itu. Tak merepotkan."
Aku mendelik sekilas. Barangkali, itu memang tak di tujukan untuk menyindirku. Tapi, biarlah aku menganggapnya begitu sebab mama selalu berkata lihat. Kata itu bermakna luas.
Yang pertama, bisa di artikan agar aku melakukan hal yang sama seperti anak tetangga. Dan yang kedua. "Ya, aku sudah melihatnya, Ma. Berulang kali malah." Mama menatapku saat aku menjawab perkataannya. Mungkin dia ingin memukulku, mungkin juga dia ingin menampar mulutku yang bersuara tanpa peduli. "Ya, mestinya kau belajar dari dia. Orangtuanya bekerja, kau juga harusnya membantu. Bukannya seharian bermain gawai. Belajarlah berbakti pada orang tua!"
Nadanya meninggi, aku tahu mama sensi sebab aku tak membantunya di pabrik cemilan milik tetangga. Ia pergi meninggalkanku yang berbaring malas di atas ranjang.
Aku tak peduli. Aku tak memikirkan apa yang mama katakan. Tapi entah kenapa mataku tiba-tiba panas.
Setengah hari memang kuhabiskan di ruanganku, menggambar setelah itu membuka handphone memantau pembaca e-komikku sudah naik atau belum.
Padahal aku berusaha mengalihkan perhatianku pada benda persegi ini. Aku tak tahu mengapa perkataan mama terngiang-ngiang di telinga. Padahal aku sudah berusaha tenang dengan mengatakan, "Kau 'kan sudah membersihkan rumah, mencuci pakaian, mencuci piring juga sudah. Itu pekerjaan, bukan?!"
Mama hanya tak sadar. Iya, mama hanya tak sadar.
Aku tak membantunya di tempat itu sebab aku memiliki keinginan lain. Terakhir kali aku pergi ke sana, mama ngomel-ngomel sebab kecepatan tanganku tak lebih cepat daripada keong, katanya.
Aku hanya diam saja karena tak ingin berkata apapun. Pura-pura tak peduli saja sebab aku tak yakin nada suaraku akan lebih kecil darinya.
Sekolah menjadi tempat teraman untuk aku tak beradaptasi dengan banyak orang. Tidak dengan keluarga atau tetangga sebelah yang selalu mama ceritakan.
Mama memiliki banyak bahan untuk dirinya paparkan. Entah itu kelulusan orang, kebaikan orang atau keburukan sikapku yang katanya selalu diam.
Aku menahan gejolak iri saat kakakku lebih banyak bercerita dengannya. Ia lima tahun lebih tua dari diriku. Sudah menikah, pula.
Sedangkan aku hanya jadi anak pojok yang terseyum-senyum bodoh sebab tak mengerti apa yang mereka katakan.
Terakhir aku berkata bebas itu saat kepalaku memunculkan pertanyaan dan mama berteriak padaku, "Kau menjengkelkan!" Mendelikkan mata sebelum ia berlalu pergi_lagi.
Entah dimana letak sakitnya. Hanya saja kejadian itu membuatku enggan bercerita apapun lagi padanya.
Tentang impianku, atau tentang sakit bahu yang akhir-akhir ini sering muncul sebab terjatuh Minggu lalu di teras depan rumah.
"Kau tahu 'kan keadaan ekonomi kita seperti apa. Mama menyarankanmu untuk melakukan hal yang lebih berguna." Ujar mama di suatu malam saat aku lagi-lagi tak keluar kamar.
Itu hari dimana aku mendapat juara lomba puisi dari kegiatan sebuah forum. Saat itu bapak tak menunjukan reaksi apapun. Sebab, aku juga tak mengharapkan lebih akan reaksinya itu.
Bila di film atau di buku yang kubaca, para orang tua akan menepuk pundak anaknya, mengucapkan selamat atau setidaknya tersenyum bangga atas keberhasilan yang di raih keturunannya.
Alih-alih seperti itu, mamaku terdiam sejenak sebelum berujar, "Mama senang kau melakukan apa yang kau inginkan. Tapi, seharusnya kamu lebih mementingkan masa depan. Menulis tak menjanjikan biaya hidupmu."
Aku tak mengerti apapun. Mamaku wanita paling cerewet semasa hidupku. Aku senang sebab itu artinya ia begitu peduli.
Hanya saja kadang kata-katanya melebihi batas normal pemahamanku. Ia tak melarang tapi juga tak membiarkan.
Saat diriku menolak patuh, membiarkan diriku bebas dan mengurung ketaatan. Disitulah aku bertanya, "Jadi, apa ini kesalahanku?"
Aku mengerti, sebagai seorang kakak aku memang harus mengalah pada adikku. Tapi, apa harus dengan mengorbankan kebutuhanku demi keinginan anak bungsu?
Aku tak membencinya. Aku hanya sedikit tak suka sebab ia selalu meminta dengan keterlaluan.
Aku tak mengatakan bahwa mamaku tak bisa adil pada anak-anaknya. Aku hanya sedikit meradang sebab tak punya pegangan apa-apa.
Kukira, setelah aku berhasil membuktikan padanya bahwa keinginanku dapat tercapai dengan baik. Mama setidaknya mengerti akan diriku.
Tidak, aku salah mengartikan itu semua. Kata-kata yang di sebut 'bakat' tak ada gunanya. Dan apa yang kau harapkan dari kemenangaan setelah pertarungan?
"Kau tak perlu berusaha mendapatkan mimpimu. Kau lihat, Jihan, teman seangkatanmu. Kalau mama tak salah dengar, gadis itu anak yang tak terlalu aktif 'kan di sekolah." Diam sejenak. Mama duduk di sisi tempat tidur kala aku berbaring menonton video materi yang di berikan pelatih. Aku anggota klub renang, omong-omong. Situasi ini menuntut ku untuk melakukan latihan online. Semua kegiatan di hentikan dan hanya pengenalan materi saja yang di laksanakan. " Kemarin ibunya bilang kalau setelah lulus sekolah, anak itu akan langsung menikah. Calonnya tampan, dia anak dari juragan sawah di kampung sebelah. Beruntung sekali 'kan anak itu."
Mataku tetap mengarah pada layar. Meski begitu, entah kenapa pendengaranku hanya terpaku pada apa yang mama ucapkan.
Aku tak tahu reaksi apa yang harus kuperlihatkan.
Jihan akan segera menikah?
Anak pendiam itu? Apa benar?
Tapi, tak heran, sih. Toh, beberapa kali aku memang sempat memergokinya melakukan video call dengan pria.
Tunggu, tunggu. Kenapa pikiranku malah tertuju pada gadis itu? Bukan. Maksudku, Kenapa mama membahas tentang dia?
"Apa mama menginginkan aku seperti itu juga?" Aku tak tahu dapat keberanian dari mana untuk bertanya begitu. Namun, saat mama menjawab dingin, acuh tak acuh. Rasanya seperti kau di suguhkan kue basi, begitu mama membalas, "Kenapa tidak? Kau bukan anak kecil ini. Mama tak masalah bila kau menikah di usia muda."
Dan meninggalkan semua keinginanku, begitu?
Jangan bercanda. Aku tak pernah berniat memberi keinginanku untuk di bungkus dalam tali pernikahan. Aku tak bisa memahami ini.
Lagi, apa orang tuaku benar-benar tak mengerti apa yang ada di benakku. Apa mereka masih tak memahami yang kuusahakan selama ini?
"Kau tahu Ardi anaknya pak Redi? Lelaki itu sekolah sampai jadi sarjana. Tapi tetap saja, sekarang dia disini mengolah kebun 'kan." Itu saat aku berkata ingin lanjut sekolah. Aku berusaha tak mengerti kata-katanya. Berusaha untuk tak memahami inti dari perkataannya. Apa mama mendukungku atau tidak. Aku tak tahu. Aku berusaha untuk tak mau tahu.
•
"Kalau begitu, kau tinggal cepat-cepat cari pria tampan dan kaya. Lalu menikah, selesai 'kan." Aku mendelik malas. Mengetuk batang rokok guna membuang bekas pembakaran itu sebelum menghisapnya menjawab malas, "Kau pikir aku menceritakan ini untuk meminta pendapatmu? Kau mimpi, yah."
Teru terjengkat sejenak. Menilik grafiti yang beberapa menit lalu di buat sebelum berkata lurus saat tangannya mengocok cat spray di genggamannya. "Lalu kau mau apa?"
Aku mendengus pelan, kepulan asap keluar dari lubang hidung dan mulutku saat berkata pelan, "Apa mereka akan mengerti?"
Teru beralih menatapku, dapat kulihat tembok pembatas di gang sini sudah habis dirinya gambar. Matanya memicing tak paham. Sedangkan diriku masih berjongkok menatapnya balik. "Kau pikir aku tau? Aku bahkan tak mengerti kenapa kau masih sering ke sini padahal jelas-jelas ibumu tak suka."
Aku paham, aku paham. Aku hanya tertarik pada aksinya saat menggambar dengan cat spray. Apa itu salah? Lagian mamaku hanya tak suka kalau aku membeli cat warna, katanya membuang-buang uang. Itu saja. "Apa kau pikir mamaku akan bangga kalau aku benar-benar menuruti kemauannya?"
"Kurasa. Kau pikir memangnya kenapa mamamu membahas tentang itu?"
"Dua tahun lalu juga dia berkata banyak hal masalah renang."
"Dan kau masuk klub itu?"
"Ya iya, lah. Memangnya untuk apa aku memintamu mencarikanku baju karet sialan itu."
"Ibumu senang?"
"Ya ... Entahlah. Kupikir ia akan berkata seantusias ia menceritakan banyak hal seperti si Kanna teman perenangku itu. Mama berhenti mengatakan 'lihatlah' tapi aku tak yakin ia bangga setelah aku berhasil menjadi ketua klub itu. Reaksinya tak banyak berubah."
"Tapi, kau berhasil membuktikan kalau kau mampu."
Aku diam, tak memberi tanggapan apapun. Apa benar seperti itu? Kalau iya, terus kenapa mama tak henti-hentinya membicarakan anak orang?
"Kenapa kau tak mengikuti kata hatimu saja, sih?"
Hah.
Aku terjengkat, mengerjapkan mata dengan cepat saat bermonolog, apa pria ini baru saja memberiku saran, yah?
"Apa mamaku akan senang?"
Teru memasukan kaleng cat dengan kasar hingga kaleng-kaleng yang lain bertubrukan dengan keras saat ia menarik reseleting ranselnya.
"Kau terus memikirkan ibumu senang atau tidak. Kau pikir aku tahu. Bahkan aku tak mengerti padamu. Kau jelas paham bahwa merokok hal yang tak disenangi ibumu. Tapi, kau melakukannya," ujar Teru geram sambil mengangkat tas hitam itu hingga bertaut di pundak sebelah kanannya saat aku menimpal, "Tapi, mama 'kan tak tahu." Memandang sengit pria itu yang tengah berdiri.
"Terserahmu, aku pulang. Kau juga. Aku yakin mamamu takkan senang kalau dia tahu kau pulang malam begini," sindirnya tanpa menunggu sahutan dariku, pria itu berjalan lurus menyusuri gang sempit menuju rumahnya.
Aku diam. Masih malas untuk pulang. Tiba-tiba pikiranku kacau. Aku hanya belum berani mengatakan kalau 'aku ingin sekolah seni'. Aku hanya belum siap menanggapi reaksinya.
Kulitku tiba-tiba panas sebab rokok yang kuapit mengenai jariku. Aku membuang itu dan menginjaknya. Setelahnya, tatapanku teralihkan pada grafiti yang di buat Teru di depan sana. Sesuatu di dalam diriku tiba-tiba berkata.
Aku tak paham mamaku.
Dan aku lebih tak mengerti diriku sendiri.[]

Komentar
Posting Komentar
Anda dapat berkomentar apapun