Bergumul
Aku dipertemukan dengan sesosok bayang penyantun. Ia memberiku makanan saat aku kelaparan. Ia memberiku tempat tinggal saat aku bingung tak punya tujuan untuk pulang. Ia memberiku baju saat aku telanjang. Hidupku tentu saja jadi berarti sebab dia mengasihiku teramat sangat. Tapi ada satu yang buat diriku kalap. Ia terlalu baik untuku yang bahkan tak mampu sedikitpun membalas kebaikannya.
Mikro mini ini masih melaju sekencang angin yang tak sopannya menubruk-nubruk wajah. Aku sedari tadi hanya diam meski seorang paman-paman terus saja menghimpitku bak ingin membuatku jadi gepeng.
Aku tak masalah, aku tak peduli dengan itu, biarpun diriku sampai sakit dan hancur sekalipun, aku tak ingin merasa peduli.
Kulihat, orang-orang keluar masuk membawa barang mereka. Sebagian di titipkan pada kondektur mobil, sebagian lagi mereka simpan di bawah kursi. Mereka bercokol dan berinteraksi satu sama lain. Ada yang sampai protes sebab kursi yang dia duduki terlalu sempit untuk bongkahan bokong yang tak ada kecil-kecilnya itu. Ada yang sibuk peduli dengan si ibu yang iba dan mencoba memaksa kursi itu menyisakan lebih banyak jarak. Ada juga yang tak peduli sebab mereka sudah nyaman mendapat posisi.
Aku hanya memandang mereka saja. Tanpa niatan ingin nimbrung atau setidaknya memberi solusi sekalipun. Selain itu tak ada kaitannya denganku, aku juga tak merasa perlu untuk membela si penumpang muda itu yang mulai tak nyaman sebab ibu-ibu itu terlampau memaksa untuk memperjuangkan dirinya menyentuh kain kursi.
Si kenek yang tak acuh malah berdiri santuy tanpa berniat cari solusi. Ia menghadap pintu mobil yang terbuka sambil berdiri setelah berbohong bahwa mobil kecil ini masih sanggup menampung satu sampai dua orang. Aku tau dia melakukan itu sebab di juga berusaha mencari uang untuk bertahan hidup.
Aku membanting punggungku pada sandaran mobil dengan ogah-ogahan. Bokongku serasa panas setelah sekin lama hanya duduk tanpa berdiri sama sekali. Ini sudah hampir dua jam aku menunggu penantian sampai di tujuan. Menghabiskan waktuku yang sengaja kugadai dengan sebuah mimpi yang hanya hitam tanpa nyenyak.
Sang supir masih betah dengan dirinya mengendarai mobil macam dikejar setan. Orang-orang disini tak peduli dengan itu, yah sebagian lagi mungkin merasa tak peduli asalkan mereka diantarkan dengan salamat sampai ke tempat mereka.
Dan aku yang jantungnya naik turun hanya melipat bibir memasang muka sepat. Selama berjam-jam. Aku menahan diri dari rasa mual dan muntah yang coba kutahan-tahan agar tidak keluar. Pusing menggerayangiku sampai kututup-tutupi itu dengan menutup mata berkali-kali.
Kepala ini sudah terbentur kusen mobil beberapa kali. Tapi yang aku pedulikan hanya tempat dudukku yang makin menciut sebab tambah satu personil bapak tua yang bergabung di jajaran kami.
Mataku tiba-tiba menolak mati dan akupun terjaga sebab pusing ini terus menjalar menyakiti isi kepala. Yang compang-camping memungut memori dari keadaanku saat ini. Aku memikiki 72 kilometer perjalanan yang harus di tempuh sampai aku bisa memasuki kota.
Si kampung ini hanya diam tak mau buka suara sebab mabuk darat yang dideritanya. Dialog disini mukin tak 'kan ada sebab alih-alih masuk percakapan, si tokoh malah kembali tertidur duluan.
Badanku lemah, keringatku keluar hampir sebiji jangung rasanya. Dan untuk kesekin kalinya kukeluarkan apa-apa yang mengaduk-ngaduk isi pertutku pada si hitam keresek yang di niatkan kubawa dari rumah. Ini sudah yang tak tahu keberapa sekian keluarnya. Yang pasti aku sudah tak sanggup bahkan untuk memengang plastiknya sekalipun. Dirasa lebih baik kugeser kembali kaca mobil mengijinkan angin sore serta hawa senja menyentuh muka. Dinginnya membekapku yang sengaja meninggalkan mantel dirumah.
Aku memiliki sekitar dua jam perjalanan lagi sampai aku benar-benar tiba di tempat tujuan. Membenturkan kepala pada sisi jendela sengaja kulakukan. Perutku yang melilit coba-coba kuabaikan. Aku teramat benci pada situasi begini saat tiba-tiba mereka memaksaku memikirkan sesuatu.
Aku benci menunggu dan untuk kesekian kalinya aku dipaksa begitu. Sebab artinya aku mendapat beban untuk diriku yang tiba-tiba memutar memori-memori durhaka.
Sendirian kuremat tas gendong yang berada di atas pangkuan. Sesekali aku juga mengintip biduran merah yang dibuat semalam_sengaja kupaksa sembunyikan di balik kaos lengan panjang.
"Lihat, bahkan Karin anaknya bu Hestri sudah mampu membelikan ibunya kulkas. Duh, anak yang baik 'kan dia."
Kata-kata mamah merangsek tanpa diminta. Aku tak menemukan hal aneh dari ucapannya selain kutemukan kesadaran diri bahwa aku bukan Karin anaknya bu Hestri yang bekerja di pabrik sepatu.
"Iya, Nak. Lihat bagaimana kakakmu bekerja. Kau tahu Indah temannya dulu? Ia bercerita pada mamah bahwa kakamu teramat ngirit sama uang, alih-alih menggunakan uangnya untuk menyewa kendaraan. Ia lebih memilih jalan kaki untuk sampai ke tempat kerjanya. Kakakmu hebat 'kan, katanya, 'selagi jarak masih bisa di tempuh dengan jalan kaki, kenapa harus susah-susah mengeluarkan uang' Itu kakakmu benar-benar orang yang hebat. Dari situ, sebisanya kamu harus contoh sikap dia," ujarnya lagi. Aku tak masalah. Aku tak masalah dengan ucapan mamah yang selalu bercerita itu berulang kali. Sebanyak apapun ia menggembar-gemborkan perilaku kakak yang kelewat baik. Aku mencoba untuk tidak masalah. Mencoba untuk menjadi peduli meski sesak selalu hadir tanpa undangan.
Mamah jelas hanya bisa bercerita sana sini tentang kakak sebab curhatan mereka yang kelewat akrab. Mungkin sedekat kalimat yang diakhiri titik_tak ada jaraknya sama sekali.
Sedangkan aku hanya berdoa untuk mengolah itu dengan baik. Tak membangun relasi bukan berarti tak ingin. Aku pernah mencobanya beberapa kali, bercerita tentang diriku sesekali meski ujung-ujungnya pasti berakhir mamah yang bercerita kakak kesana sini.
Bersabar menunggu diamnya beliau hingga tak kutemukan itu di mana-mana. Sebab diriku yang keburu diserang perasaan buruk hingga tak mau melanjutkan apa yang sudah antri di dalam otak ingin kumuntahkan. Jadi kukemam itu di dalam kerongkongan yang malah sialan sebab kepalaku bekerja dua kali lebih cepat memberiku pikiran pelontos yang bebal.
Aku membiarkan asumsi bodohku saat mamah pernah memarahiku sebab aku menggunakan baju yang berada di lemari kakak. Membiarkan kepalaku sakit sebab mamah yang langsung membeli obat kala mendengar kakak bersin sewaktu ia pulang ke rumah. Membiarkan diriku pamit sendirian tanpa meminta mamah ikut menemankku di depan terminal seperti yang sering ia lakukan pada kakak.
Aku tak bekerja di luar kota. Kerjaanku hanya terhalang rw saja, masih satu desa. Aku hanya melakukan perjalanan ke kota sesekali.
Jadi, aku mencoba untuk mengerti, memahami dan tak terlalu banyak mengomentari. Saat mamah yang katanya menghawatirkanku ketika diriku pulang malam setelah selesai bekerja, tak kutemukan kata-katanya yang rela menjemputku jadi kenyataan. Di samping diriku yang menolak itu, setidaknya aku juga sadar. Mungkin mamah berbicara begitu hanya sebagai pengisi keheningan di waktu-waktu senggang kami.
Karenanya kubiarkan perasaan yang kuhafal ini menumpuk di rongga dada. Tampa di keluarkan, tanpa harus susah-susah ambil banyak tindakan.
Iriku selalu menumpuk tiap detik yang memberiku dorongan untuk sedikitnya unggul dari kakakku. Tapi, sayangnya aku tak berhasil untuk itu. Sebab saat diriku benar-benar berhasil mendapat juara cipta puisi, mamahku berakhir bilang kalau kakak juga bercerita ia suka di puji sama guru bahasa Indonesia terkait puisi buatannya. Saat aku berhasil menjadi ketua pramuka di sekolah menengah ia hanya bilang kalau organisai ke agamaan jauh lebih bermanfaat di banding eskul semacam yang kusenangi ini.
Jadi toh seharusnya aku tak perlu berusaha unggul. Seberapa keraspun aku berusaha. Kakak memang yang terbaik. Sebab akupun tak mau di bilang naif saat berkali-kali kulanting nada tinggi pada mamah. Berhasil memecahkan piring saat sesuatu yang ingin kumakan tak ada di atas meja.
Aku tahu, ini memang kesahalanku sedari dulu. Sebab mungkin aku memblokade semua pintu untuk sedikitnya mamah bisa masuk ke dalam sana. Mungkin aku yang tak menerima kehadiran mamah atau sebenarnya mamah yang memeng tak menerima kehidupanku. Maaf aku salah, sebab mana ada orang tua yang hanya cinta satu anaknya saja.
Jadi, aku tercekat tak bisa bergerak saat sesuatu seperti menghimpit tubuhku begitu sakit, sesak tak berujung. Kepulan asap di mana-mana saat kusadari mobil kecil yang kutumpangi ini sudah berbalik tak sesuai posisi. Keributan orang-orang masih terdengar didalam sini. Bau amis menyeruak menusuk hidungku. Warna pekat darah mengalir di sekitaran tubuhku. Yang kutahu bahwa mobil lain tengah pergi menjauh setelah menabrak mobil ini. Sakit. Ini teramat sakit meski rasanya membahagiakan. Akhirnya aku biasa mengakhiri kehidupan ini tanpa harus memaksanya seperti yang berkal-kali kulakukan. Aku bahagia meski sakit saat lagi-lagi kutersentak di lahap kenyataan.
Aku terbangun dengan pening menggerogoti kepala. Kulihat situasi yang terjadi saat orang-orang di luar sana mengerumuni pinggiran mobil tepat di posisi yang aku duduki. Di bawahnya terdapat bemper mobil yang lecet akibat gesekan mobil lain yang tak sengaja menubruknya. Dan aku sepat antara harus bersyukur atau merasa kecewa sebab kusadari satu kenyataan, aku harus melanjutkan kehidupan yang hambar dan melelahkan ini.
Ketiduran lagi.
6 Desember 2021
Thirddxs

Komentar
Posting Komentar
Anda dapat berkomentar apapun