INTRODUSIR DARI JEJAK INVALID
✉ Karena doa yang lebih suci, ucapan terimakasih yang lebih menggelora dari kegembiraan bisu jiwanya, tidak bisa diungkapkan dalam bahasa manusia_Multatuli ✉
_
Tak seperti hari-hari biasa yang selalu ia nanti-nantikan kehadirannya. Masih dengan bau yang sama, tempat yang sama dengan perasaan yang berbeda.
Sehabis solat subuh yang ia laksanakan dengan kedua rekan
asal Jepangnya. Kim Taehyung sekarang hanya merenung. Ia lebih jauh memikirkan
banyak hal, tiba-tiba otaknya penuh diisi masa-masa tujuh tahun lalu babak
hidupnya. Merasa dadanya semakin sesak didera rasa perih yang menyakiti.
Pemuda tiga puluh tahun itu teringat ibunya, teringat
adiknya, teringat semua keluarganya yang jauh di Korea sana. Tapi hanya
beberapa saat setelah ia dihayutkan dengan perasaan tenang selepas ia meminta
Sang Pencipta melindungi mereka. Dia memikirkan dosa, dia memikirkan keluarga
kecilnya, dia memikirkan kemerdekaan negaranya saat ini.
Agresi militer yang bedebah dan tolol memicu pucuk
kemarahannya. Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya dan mereka tak terima.
Benar-benar sialan namun sekarang dirinya bisa apa. Tekadnya terus berontak
untuk memberi perlawanan seperti saat ia kabur dari penjara waktu itu. Ia ingin
berlari memeluk Sadina Nismara yang rutin ia lakukan saat-saat dulu.
Huh, bagaimana kabar istrinya saat ini? Pria itu yakin kalau
wanitanya pasti semakin cantik. Ah, ia jadi teringat semangat cintanya yang
menggebu-gebu dilengkapi tautan bibir terpaut di akhir senda. Sekarang yang
tersisa hanyalah doa. Ia hanya memiliki kerinduan duniawi dengan mempercayai
Allah selalu menjaganya.
“Banu!”
Pria itu menoleh. Banu merupakan nama ketiga setelah ia
menyatakan keimananya. Sangat cocok di pendengarannya. Kata pak Rizkullah, nama
itu sangat tepat untuk menggambarkan dirinya yang cemerlang seperti cahaya. Dan
Taehyung menerimanya dengan baik, meski ia juga teringat satu nama yang sangat
ia benci namun terpaksa ia sandang dulu. Orang-orang pemaksa itu tak lebih dari
sekumpulan lalat pengganggu dan penuntut yang paling ia rutuki. Jangankan nama,
baju seragam kebanggaan mereka yang Taehyung kenakan dulu seperti sebuah
penghinaan untuk dirinya. Sebab itu ia harus berhenti memikirkan masa lalu yang
tiba-tiba hadir kembali di kepalanya karena setelah ia menjadi muslim, pria itu
jadi mengerti bahwa kemarahan itu merupakan sikap buruk manusia yang harus ia
kendalikan.
“Kita tak sempat solat duha, dong.” Jimin dengan jujurnya
mengatakan itu. Dengan nama lokal Ali yang menjadi sandangannya. Taehyung hanya
mendengus pelan sebelum Suga berujar, “diamlah! Kau tak lupa ‘kan kita beberapa
menit lagi mati, hah?! Tobat sana, dzikir yang banyak!” Ali bungkam mendengar
perkatan Utsman begitupun dengan Taehyung yang kembali memparbaiki dirinya
duduk bersila.
Setelahnya hening. Taehyung memaklumi dua teman jepangnya
ini yang mengoceh seperti tadi. Suga yang sempat menjadi imam solat subuh
mereka kembali memalingkan wajahnya ke depan. Sedangkan Jimin memasang wajah
sepat sambil bibirnya kembali komat-kamit yang bahkan Taehyung tak pahami,
mungkin dzikir.
Lelaki itu menutup mata, membiarkan darahnya mengalir dengan
tenang seiring sholawat dan dzikir yang ia ucapkan. Sejurus kemudian otaknya
dipenuhi dengan memori-memori acak yang pernah ia alami dulu.
Ia tahu setiap manusia pasti deberikan pilihan untuk
menjalani hidup. Bukan ini berarti ia memiliah pergi dan membiarkan Nismara
hidup mengurus anaknya sendirian. Bukan berarti ia lelah memperjuangkan kemerdekaan
bangsa Indonesia yang sangat ia bela mati-matian ini.
Garis takdir tak bisa ia perbaiki, tak mampu ia ubah, dan
kita hanya mengandalkan pasrah. Ia percaya benang merah yang di berikan oleh
Allah pada mereka adalah sebuah jalan yang paling baik. Meski sedikitanya ia
merasakan kecewa pada si penghianat yang dengan tololnya membocorkan rahasia.
Ia tak marah, hanya kesal, dan mungkin itu sama saja. Tapi tak sebayak itu
setelah ia menyadari satu hal. Ia tak diberi wewenang untuk menghakimi orang
tanpa alasan. Penghianatan itu mungkin berdasar seperti yang dialaminya dulu.
Dia pergi demi menyelamatkan keluarga dan dipaksa patuh meski bukan
kehendaknya. Ini hanya urusan sudut pandang.
Setelahnya ia sibuk kembali dengan memikirkan
kemerdekaannya. Memikirkan urusan bangsanya yang masih terbelenggu dengan
cengkraman sekutu. Keluarga kecilnya yang ia suruh sembunyi dan beberapa hal
lainnya yang terus memaksanya untuk berfikir.
“Ban!”
Panggilan itu terlanting lagi dan yang pria itu berikan tak
jauh beda dengan yang tadi, hanya ditambah gugaman saja dari si pemilik nama.
Ali terdiam sebentar. Mereka bersandar pada tembok tahanan
yang dingin itu setelah petugas keamanan datang beberapa menit lalu.
“Kenapa aku teringat aksimu di jembatan waktu itu?”
Entahlah atas dasar apa, yang pasti ia tahu temannya ini
punya sikap sedikit cerewet di antara ketiganya. Mungkin juga sebab Jimin ingin
menghalau pikiran-pikiran yang memenuhi kepala lelaki Jepang itu, sama seperti
dirinya.
“Apa yang kau pikirkan?” ucap Banu membalas. Rasanya saat
ini Banu memang membutuhkan orang untuk berbicara. Sedangkan Utsman hanya memperhatikan
mereka berdua dalam diamnya di pojok sana.
Ali tak lekas menjawabnya, pemuda itu lagi-lagi hanya terdiam meski tak
di durasi yang lama.
“Banyak hal,” ujarnya memberi jeda.
“Salah satunya
perjuangan kita,” lanjutnya dengan wajah yang ditekuk layu.
Mendengar Ali berkata seperti itu. Banu jadi memikirkan
keluarganya. Istrinya, anak laki-lakinya. Hidup mereka, masa depan mereka. Banu
memikirkannya meski ia telah terlanjur mengadukan dan menitipkan mereka pada
Allah.
Mengingat masa-masa mereka ditangkap kelompok pribumi bahkan
hampir-hampiran di bunuh meski tidak jadi sampai mati. Dan kisah cintanya, dan
masuknya mereka menjadi kelompok gerilya, dan pengakuan mereka masuk islam. Itu
tersimpan jelas. Mematu-matu rasa rindu pada istri dan anak jadi penutup, sebab
setelahnya Utsman berujar,“Waktu merenung hanya setelah solat subuh tadi. Kita sepakat untuk itu,
benar.”
Keduanyapun kembali, meski tak sepenuhnya. Dan kembali
merasa sakit, meski tak terlalu dalam.
Hening tercipta di antara ketiganya.
Banu tak merasakan banyak perubahan meski sedikitnya dia
resah. Ia bukannya takut mati. Lelaki itu perakit bom yang mana menghadapi mati
lebih sering. Ia juga banyak menghadapi ajal sejak lama, ia hampir mati
kelaparan di camp pelatihan, ia hampir mati saat ikut membakar gedung-gedung dalam
peristiwa Bandung Lautan Api. Tapi itu hampir, dan kata hampir itu tidak
membantu sekarang. Kerena umurnya, umur teman-temannya, sudah ditentukan di bawah
ketukan palu.
Yang Maha Kuasa telah memanggil mereka menggunakan manusia
berseragam kolonial dengan wajahnya yang sok sangar dan membuat ketiga sekawan
itu ingin terbahak tertawa merasa lucu.
Tak ada tali yang menjerat leher mereka sekarang, tak ada juga tali yang mengikat kedua pergelangan
tangan. Mereka disuruh berjalan tanpa keraguan meski terasa begitu berat.
Bahkan mereka tidak diarak seperti sebelumnya. Mungkin ini sebab mereka
menggunakan sarung yang membuat langkahnya terasa sulit, atau mungkin juga
tidak. Ketiganya kompak mengunakan baju koko putih dan sarung berwarna merah.
Biasanya setelan ini mereka gunakan untuk pergi solat berjamaah di surau dan
sekarang mereka mengenaannya untuk eksekusi mati.
ini seperti menggelegak dari sekedar air panas yang tak
sengaja masuk ke tenggorokan. Taehyung merasakan lidahnya mati rasa, sesak yang
teramat sangat melihat keluarganya berdiri di depan sana. Wajah pribuminya
masih asri memenuhi korona, mata lentik itu, hidung kecil itu, bibir
bergelombang itu . Ah, ia jadi sedikit kecewa sebab tak bisa merasakannya lagi.
Rasa rindunya sedikit terbayarkan sekarang. Pria korea itu jadi ingin mendekap
tubuh wanita miliknya, menyalurkan kehangatan pada istri dan anak tercintanya
itu dengan teramat sangat. Taehyung masih kuat, ia masih tahan saat melihat
bayi imut satu tahunnya sudah besar sekarang di lilit tangan sang wanita
sebagai perlindungan.
Taehyung selalu menjaga agar mata perempuan manis itu tak
mengeluarkan air. Ia selalu berusaha untuk memberi tahu istrinya agar tetap
kuat dengan resiko apapun yang ditanggung suaminya. Dan Taehyung terimakasihkan
untuk itu sebab perempuan cantiknya hanya mengeluarkan beberapa air mata hanya
itu yang bisa Taehyung lihat, sepertinya.
Perasaan Taehnyung bak diremat, hatinya sempat goyah
menginginkan hidup dan membatalkan kematiannya hari ini. Bibir itu, bibir
kecil mungil itu penyababnya. Putra
kecilnya duduk dipangkuan sang ibu menggumamakan kata ‘bapak’ dengan mata belo
imut mengarah padanya. Ouh, anaknya benar-benar sudah besar sekarang.
Tapi melihat anggukan kecil dari sang istri membuatnya yakin
kembali. Wanita itu tersenyum kecil padanya meski tersirat kegetiran didalam
sana. Itu menjadi hal terakhir yang ia lihat sebelum pandanganya beralih pada
seseorang yang memegang ajalnya melalui
moncong senjatanya. Memori itu terputar di dalam kepala. Pertempuran,
perlawanan, pemberontakan, Banu benar-benar tak suka melihat seragam yang
dikenakan petugas itu. Saat sadar dia akan mati sedangkan mereka masih akan
tetap tinggal di dunia ini bersama istri tercintanya. Diam-diam ia kembali
berdoa dengan isi yang sama menitip istri dan anaknya pada Sang Pencipta.
Ditambah keteguhan dan kecintaannya pada negara sang isti yang semakin
membludak berharap segera bebas dari situsi sialan ini.
Suara dari barang
yang akan merenggut nyawanya terdengar nyaring di telinga dengan ingatan
melayang pada semua kejadian hidupnya yang diputar terlau cepat. Misu loncat
mengincar kepala sang lelaki yang dengan hati teguh dan keinginan besar
melanting kata menggunakan suara khas baritonya berteriak
“MERDEKAAA!!”
fin
Alhamdulillah, akhirnya kelar juga.
Aku mau kasih tahu beberapa hal, yang pertama ini diambil dari kisah nyatanya Yang Chil Sung. Aku yang bener-bener baru tahu kalo kerkop jadi saksi kisah ini ngerasa gak nyangka banget, sih. Rasanya kek melongo aja sampe sekarang. Yang kedua, tadinya tulisan ini itu mau aku simpen aja di work, cuman ya, gak tahu ni tangan tiba-tiba gereget pen upload.
Ini cerita bener-bener cerita Komarudin dengan versi gajenya aku. Dan kenapa aku pilih Bangtan ya, kan aku army, identiknya lah sama mereka. ya, ya meski aku tau kalo aku bukan army sejati dan suka oleng sama yang lain. Tapi sekarang aku gak hanya nge-fansgirl apa lagi cari populatiras di bawah nama mereka. Bodo amat orang mau mikir apaan yang pasti aku secinta ini sama indonesia dan mereka ngebantu buat visualisasi aku.
Ini kaya, gak tau aja lah idenya kepengen gitu aja deh pokonya. Masih gagu juga sih buat nulis berlatar sejarah kaya gini. Meskipun sebenarnya aku tertarik, tapi aku bener-bener suka gak paham sekali cerna, dan ini juga aku berusaha cari fakta melalui artikel dan film-film dokumenter sebagai referensi aja, sih. Dan gak tahu aku kok jadi berani kek gini. Padahal baca buku perjuangan Tan Malaka aja aku mewek!

Ini menjadi cerita seterusnya yang aku baca dari cerita kakak. Semangat nulisnya kak, aku tunggu cerita-cerita kakak selanjutnya....
BalasHapusTerima kasih, terima kasih banyak pokonya. Maaf slow respon. aku baru buka soalnya, kemaren sempet lupa kata sandi.
BalasHapus