Tenggat yang dikoreksi







Dia memahami beberapa hal yang tidak pria itu pahami sebelumnya. Untuk terus berusaha menyalamatkan diri sendiri dari hal-hal yang memuakan dan menjemukan ini. Sehabis jamuan tunggal yang diadakan, dirinya hanya mematu merasakan sakit yang berlabihan dari seorang asing yang tiba-tiba memintanya untuk menjadi seperti itu.

Mudah saja bagi seseorang yang tak memahami dan tak berniat mengerti. Mereka takkan peduli meski berkali-kali coba dirinya jelaskan. Mereka mana mau mengerti sakit yang hadir bagai kapas berduri ini. Suaka yang terjun bebas seperti ayahnya yang terciduk berdusta. Mamah sakit dan pria itu pun juga begitu. Kepercayaan pudar meski luka tak berdarah yang terus diperhatikan sebab merasa bingung pada suatu hal yang ia tak pahami. Mamah yang hampa dan tak pernah kembali dan ayah yang terlihat tidak begitu peduli,  Pemuda itu terlalu banyak merasakan ketidakmanfaatan di sini. Sakitnya tidak terbayar, dendamnya makin bertumpuk tak hilang-hilang.

Aroma petrikor yang kuat merangsek memenuhi hidung Haru. Tanah yang basah, batu yang tiba-tiba licin, dataran yang ikutan menjemu. Haru diam memandangi semesta yang berduka dan memuakan karena mereka lebay sekali. Pria itu bahkan tak menangis saat mamanya tahu-tahu sudah wafat di kamar mandi saat itu. Kenapa alam malah sok-sokan peduli isi hati, seharusnya mereka tak peduli sama seperti ayahnya yang malah undur diri. Ya, seharusnya begitu saja.

Ia sudah mengalah dengan udara pagi ini. Ia mengalah dengan ketidak adilan yang menimpanya. Apa yang bisa remaja delapan belas tahun lakukan dengan semua ketidaksempurnaannya ini? Haru bahkan muak sebab tiap pagi dia masih diberi ijin membuka mata.

Haru tak bersyukur, dia kalah telak untuk terlihat seperti orang tegar dan kuat. Dia tak menyangka saja sampai-sampai dia ingin segera pergi dari kehidupan membosankan ini. Lelaki itu tak berdoa, tak meminta, bahkan dia lupa apakah dia masih akan diampuni Tuhan atau tidak. Semua orang berbalik menjauhinya, mengutuk dirinya, bahkan ayahnya saja mungkin sudah lupa kalau dia masih memiliki tanggungan anak beban di sini. Tapi biarlah, toh Haru tak menganggap pria tua itu ayahnya lagi.

“Kenapa kau masih di sini, To? Pulang, tuh lihat! Langitnya tak memintamu berlama-lama diluar.”

Lelaki itu memasang wajah sepat. Ia tak meminta seseorang untuk menemaninya dan mengajaknya bicara. Dia bukan pria kesepian menyedihkan. Dia tak perlu orang untuk menemaninya membangun relasi. Ia tak butuh untuk itu.

Junkyu menghela nafas di sana, menetralisir udara yang masuk ke rongga dadanya yang tiba-tiba terlalu banyak. Menatap si Haruto yang dingin dan keras kepala itu sebelum melanjutkan, “Jangan memasang wajah seperti anak anjing minta di pungut, deh.”

Lalu setelahnya Haruto berontak sebab ia tak diberi kesempatan untuk protes saat tangannya keburu ditarik duluan oleh pria Kyu itu. Membawanya jauh dari terminal yang awalnya mereka tempati dan entah kemana pria pendek didepan ini membawanya. Haruto jadi pasrah saja setelah otaknya tak memproses apapun untuk dirinya lakukan malam ini. Selanjutnya ia jadi heran sebab alih-alih tempat bersenang-senang yang ia bayangkan akan hadiri, ini malah rumah sederahana yang Haruto pun tak pernah terbayang akan mereka datangi.

“Ini rumahku, jangan protes sebab tempatnya mungkin tak seistana tempatmu. Tapi ini masih layak untuk ditinggali. Duluan saja ke atas, nanti akan kususul!” finalnya memberi perintah. Lelaki Haru itu tak memiliki niatan untuk membalas. Meski dia bingung kenapa si Junkyu, teman sebangkunya itu membawanya ke tempat ini, tapi pertanyaan itu hanya terkemam di dalam kerongkongannya saja. Mungkin setelah ini ia akan bertanya, eh tapi sejak kapan ia punya rasa penasaran begini.

Lelaki Haru itu memandangi sekelilingnya, kamar Junkyu yang berada di lantai dua begitu sepi dan dingin. Tapi cukup rapih dan bersih untuk ukuran laki-laki yang bersekolah dan memiliki pekerjaan sampingan. Disini hanya terdapat beberapa foto Junkyu yang disimpannya di samping meja tempat tidur, satu set meja belajar beserta beberapa gambar yang Haruto rasa Junkyu yang membuatnya sendiri, kasur dan lemari pakaian berpintu kaca. Tak ada yang menarik di sini. Bahkan setelah Haruto menyimpan tasnya diatas lantai, lelaki itu malah bingung memikirkan duduknya harus dimana, di lantai yang dingin atau di kursi belajar yang sempit. Tak mungkin di kasur, dong. Sebab kasurnya yang tak ada lipatan longgar sama sekali, takut sekali membuatnya kusut Haruto tuh.

“Maaf sedikit lama, soalnya aku tak menemukan gula.”

Tiba-tiba Junkyu datang sembari membawa teh panas beserta beberapa camilan dia atas nampan. Tapi setelah ia memandangi Haruto yang berbalik ke arahnya masih dalam posisi berdiri, ia jadi teringat sesuatu.

“Aduh, maaf. Kau pasti bingung memikirkan tempat duduk. Kamarku tak memiliki sofa, kau bisa duduk di sini.” Ucapnya sebari menggelar karpet yang ia ambil dari sisi lemari pakaian. Setelahnya, Junkyu mengambil nampan yang sempat ia simpan di sisi meja tempat tidur, menaruhnya di antara mereka berdua sambil berkata, "Gak papa yah kusuguhi ini aja." Haruto hanya diam, meski ia banyak bingungnya dari pada pahamnya pada pemuda didepannya ini.

Lelaki Kyu itu tak pernah menjauhinya sekalipun ia pernah melempar suatu barang saat lelaki itu terus menggnggunya di kelas. Mengusik hidupnya dengan banyak mengirimi pesan yang berisi hal-hal tidak menarik untuk Haruto. Menemaninya duduk di bangku stadion menontoni teman-teman kelasnya yang bermain basket, mendudukan dirinya saat istirahat di kantin, memberikan satu tempat untuknya saat semua teman dikelasnya tak memberi akses Haruto masuk kelompok tugas mereka.

Pernah satu kali si lelaki Haru itu bertanya pada Junkyu atas semua, bisa dikatakan kebaiakan Junkyu padanya. Kenapa dan apa untungnya bagi pemuda Kyu itu. Tapi di sana, lelaki pendek berpipi gembil itu hanya tersenyum sembari menjawab enteng, “anggap saja aku menabung untuk mendapatkan tiket VIP masuk surga.”

Dan itu menjadi jawaban yang menimbulkan kerutan dalam di dahi si tampan Haru. Itulah juga yang mungkin menjadi alasan kali ini saat Junkyu menggiring ransel miliknya dan mengeluarkan beberapa buku.

“Untuk apa kau membawaku kesini?” Cicitan ketus itu terlanting dari bibir Haru. Mengundang lelaki Kyu itu menoleh padanya, memiringkan kepala, “Kau pikir untuk apa?”

Inilah yang selalu membuat Haru kesal setengah mati pada teman sebangkunya. Orang nanya ini malah balik bertanya, dengan tampang polos dan dongo itu, Haru jadi berhasrat memasukan si Junkyu-Junkyu itu ke dalam karung.

Lelaki dengan modelan rambut mangkok tumpah itu berdecak sekilas sebelum menjawab dengan benar, “kau pikir tidak sekolah tugasmu jadi ringan, begitu. Meski kutau kau masih berkabung, tapi jangan larut, dong. Kau masih di beri nafas kalau harus kuingatkan.”

“Ini tugas pak Kim terkait sejarah umum dan ini tugas dari pak Yoonmin terkait hubungan sosial.” Katanya menjelaskan lebih lanjut. 

Haru memperhatikannya, berdecak lelah sebelum si Watanabe itu bercicit, “kau menyusahkan!” ketusnya merebut buku-buku yang Junkyu sodorkan. Si pria Kyu  terkekeh pelan melihat sikap gengsi yang terlalu tinggi dari lelaki turunan Jepang itu.

Selanjutnya, atmosfer di ruangan itu jadi berubah seketika. Haru masih berkutat dengan buku Junkyu meski ia tiba-tiba membuka vokal yang terendam akibat kepalanya menunduk. “Sepi sekali. Keluargamu kemana?”

Junkyu sedikit terkejut, jelas. Sebab ini kajadian langka yang harus di viralkan. “Kau kepo, To? Kukira manusia sekelas dirimu tak memiliki tanda tanya dikamus hidupnya.”

Yang jadi bahan ejekan hanya memutar bola matanya malas. Percayalah, pria itu bahkan membutuhkan hampir setengah jam untuk benar-benar melontarkan tanya.

“Ada, tapi mungkin mereka tak pulang.” Dengan air muka yang tak memiliki ekspresi sama sekali, Haru jadi enggan melanjutkan kesibukannya. Ia jadi tertarik pada kata-kata yang dilontarkan Junkyu selanjutnya, “ibuku pergi dan ayahku takkan repot-repot membatalkan acara kencan untuk mencarinya.”

“Ayahmu selingkuh?”

“Tidak. Orang tuaku sudah lama berpisah jauh sebelum ayah mengenalkan kekasihnya pada kami.” Haru makin tertarik. Kami  yang Junkyu maksud pasti bersama kakaknya. Tak ada kemurungan yang lelaki Jepang itu tangkap dari wajah Junkyu sama sekali. Lelaki itu menceritakan masalah pribadinya seperti ia bercerita pengalaman persami sekolah.

“Kau akan mendapatkan dua ibu, dong.”

“Tidak juga.”

“Jahat sekali.”

“Bukan. Bukan itu maksudku. Dia tidak akan menjadi ibuku, tidak akan pernah. Sebab ayahku berkencan dengan seorang laki-laki.” Haru bergeming. Dia mendadak tak bisa bergerak. Nafasnya kabur entah kemana, rasa tak menyangkanya mengalahkan kesadaran dirinya yang ada. Namun, tak berapa lama sebab kesadarannya keburu cepat dikembalikan dengan suara kekehan Junkyu setelahnya.

“Mukamu biasa aja, dong. Aku baik-baik saja, loh.”

Haru mengerjapkan matanya, ia juga mengatupkan bibirnya. Oke, ini tolol. Pasti Junkyu mati-matian menahan ejekan untuknya yang memasang wajah bego tadi. Ia tak bisa untuk tak memukul kepala lelaki kecil itu saat suara tawa membahan di ruangan ini pecah seketika.

“Ternyata kau bisa terlihat bodoh juga, yah. Kau tahu, aku bahkan tak terharu loh saat melihatmu memasang wajah sepat tempo lalu.” Aku pria itu pada akhirnya. Muka judes si keturunan Jepang itu di pasang kembali. Ah, dia jadi kehilangan mood menyalesaikan tugasnya  sekarang. Matanya tak beralih dari si pria aneh Junkyu yang coba menetralisirkan tawanya.

“Oh, dan satu. Apa kau sudah menemui ibumu hari ini?”

“Kenapa harus?”

“Tolol. Jadi ini balasan untuk orang yang sudah berusaha melahirkanmu?!”

“Sudah kubilang aku tak memintanya!”

“Siapa yang tahu. Sebelum kau dicipta mungkin kau memintanya.”

“Dari mana kau tahu?”

“Hanya mungkin.”

Jawaban itu jadi penutup Haruto menghembuskan nafas kasar. Jika merembet ke masalah begini maka takkan ada habisnya untuk mereka berdua selesaikan. Wajahnya makin menukik saat Junkyu melanjutkan, “ayolah teman. Jangan terlalu keras pada dirimu sendiri.”

“Apa kau memintaku untuk bersyukur lagi.” Tepat sekali. Itu jawaban dari apa yang Junkyu maksudkan dan pria berpipi gembil itu melengkapinya dengan senyum kepuasan.

“Suatu hari Khalil Gibran memberimu uang, apa kau akan mengambilnya?”

Kerutan dikening Haruto makin dalam, tercetak jelas. Air mukanya sudah mengerut heran alih-alih ditutupi wajah datar yang seringnya lelaki Haru itu tampilkan.

 “Apa sih yang coba kau jelaskan?”

“Pilihannya hanya dua, To. Kau akan mengambilnya atau tidak.”

Haruto jelas-jelas makin bingung. Tapi ia tak amil pusing untuk terus menolak dan mencoba masuk ke dalam permainan temannya. “Jika aku memiliki uang, kenapa aku harus mengambilnya?”

Menampilkan Junkyu yang malah menjentikan jemarinya sebelum berdecak. “Nah, kau ini. Seharusnya yang kau tanyakan, kenapa Khalil Gibran mau memberikan uang padamu?”

“Hah?”

“Itu yang coba kujelaskan terkait dirimu yang kubilang memutuskan rasa syukur. Kau berhenti berdoa seperti kau orang kuat, yang tak peru meminta. Jangan keras pada dirimu sendiri, To. Kau masihlah berbentuk manusia yang dicipta jika kau lupa.”



Fin

 Sabtu, 8 Januari 2022

 

 

 

 

 

 



Komentar

Postingan Populer