Larik-larik yang pecah dibalik punggungku

***



K

ita akan kembali pada masa dimana semuanya tak sebrengsek ini. Kita akan kembali, kita akan kembali pada masa dimana semuanya masih sepolos dan semenyenangkan masa kecil. Kedua iris itu, yang sayu dihantui takut, hanya kelabu tanpa warna yang menentu. Aku hanya bisa memandanginya dari sini. Wanita itu memanjat  pagar rumahnya dibantu seorang lelaki yang kurasa itu, Tanu Ribka? 

Yah, itu memang dia. Ayi melambaikan tangan memberi salam perpisahan padanya dan, ouh, Menyaksilkan bagaimana lelaki itu tersenyum bangga seolah ia berhasil menyelundupkan ganja membuatku mual. Kesekian kalinya aku melihat wanita itu di rampas oleh laki-laki yang sama tak serta merta menjadikan diriku merasa terbiasa akan sikap mereka. Dan Ayi, aku ingin bertannya padamu. Kenapa harus Ribka? Kenapa dari sekian banyak lelaki anggota klub futsal  harus dia yang berhasil mengalihkan atensimu? Laki-laki itu banyak sekandalnya,  Ayi. Kenapa harus dia? Dan aku kesal sebab pertanyaan itu hanya selalu terkemam dibalik kerongkongan.

Purnama berhenti terpejam untuk kesekian kalinya. Malam ini dan malam-malam yang biasa kita lewati, tiba-tiba semuanya menjadi gelap tanpa warna dan Ayi.  Wanita itu mengendap-endap membuka jendela rumahnya seolah dia seorang pencuri. Kamarnya terang benderang saat sang pemilik menghilang dilahap jendela. Hingga tak berselang lama, tiba-tiba mati lagi; selaras  dengan itu aku akhirnya bisa membebaskan nafasku yang tertahan.

~

"Akin Kanaya!"

"Hadir, Bu!" 

Wanita itu mengacungkan tangan merespon absen guru. Aku memperhatikannya yang duduk di depan sana setengah tak menyangka, "Mereka melakukan pesta lagi malam tadi?"

Yah, dan itu seharusnya bukan sesuatu yang awam lagi. Rumor mengatakan, jika kau berhubungan dengan Tanu Ribka. Maka tak ada jaminan hidupmu bisa keluar dari dunianya. Dia laki-laki terpandang, keluarganya memiliki strata sosial yang baik, perekonomian yang bagus dan bisa di anggap gila jika kalian menghina tampangnya. 

Ia di lahirkan dengan konsep normatif yang matang, jabatan, dan harta kekayaan. Meski begitu, tetap saja gunjingan ya gunjingan.Terlepas dari kau anak pengusaha sukses atau apapun. Ribka ya Ribka. Lelaki itu dikenal sebagai pria populer penikmat jayus, katanya.

Semua gosip yang beredar di kalangan para siswa meluncur begitu saja. Mereka bilang laki-laki itu sering mengadakan acara perayaan di rumahnya. Bukan perayaan juga, sih. Anak SMA berusia tujuh belas tak mungkin hanya mengadakan perayaan biasa seperti balon atau hunian bling-bling penuh pita di ruangan sana. Tidak. Kita cukup paham untuk sekedar menerka-nerka apa yang mereka lakukan. Alkohol dan narkotika menjadi opsi. Itu adalah pergaulan keren pada proletar seperti mereka, bukan. Selain itu, Ribka juga bolak-balik masuk penjara kedisiplinan remaja. Semua orang juga tahu peristiwa ditangkapnya lelaki itu dan komplotan kawanannya dengan isu pesta narkoba. 

Tapi itu juga masih simpang siur. Sebab besoknya pria itu biasa saja. Datang ke sekolah, songong seperti biasa dan jangan lupakan rambut hitamnya  yang di highlight marun di beberapa bagian. Beberapa siswa mengatakan bahwa ayahnya harus merogoh saku untuk membungkam para petugas. Ada lagi yang mengatakan bahwa ayahnya mempunyai relasi yang baik. Petugas keamanan membebaskan anak itu sebab ayahnya mampu meyakinkan kejadian itu hanyalah kekeliruan, alibi cukup payah tapi memang tak ada yang tahu siapa yang benar. 

Serta merta senyuman lelaki itu menambah kedengkian para Adam di kelas ini. Mereka berbondong-bondong memperhatikan jalan Ayi bak wanita itu seorang model yang tampil di atas catwalk

Ayi, perempuan itu ... 

 

 

Nama sebenarnya Akin Kanaya. Hanya saja, nama itu digunakan sebatas absen. Toh tak ada yang memanggilnya Akin atau Kanaya. Semua orang mengenalnya dengan Ayi. Bahkan guru-guru di sekolah ini memanggilnya begitu. 

Jika dia memesan paket dengan cantuman nama lengkap dan sebatas RT/RW saja. Maka di pastikan, sang kurir akan buntu bertanya pada orang-orang di mana rumahnya. Begitupun jika teman sekelasnya menanyakan alamat rumah wanita itu dengan nama asli, maka di pastikan mereka hanya akan mendapat gelengan kepala dari orang-orang sekitar. Hanya tak yakin saja sih ada temannya yang mencari alamat wanita itu. Hampir tidak pernah. Sama sekali. 

Untuk kesekian kalinya, aku dikejutkan dengan dia. Sebab Ribka orang pertama yang aku lihat di bawa ke rumahnya. Wanita itu populer. Jelas. Hanya saja, jangan pernah kalian mengulik informasi lebih banyak dari wanita itu terutama keluarganya. Karena kalian hanya akan menemukan warna abu, hitam, gelap tak berwarna. Kalian bisa saja hilang akal. Kalian mungkin saja akan linglung. Sebab dari sekian banyak rumor yang beredar. Wanita itu tak pernah menampakan asal usul yang jelas tentang keluarganya. 

Kita hanya tahu orang tuanya bercerai dan ia hidup bersama kakaknya. Hak asuh di jatuhkan pada ayahnya. Namun, aku bahkan hanya melihat ayahnya sesekali datang ke rumah itu. 

Mempunyai paras yang menawan adalah bagian dari kepopularitasannya. Selain itu, Ayi merupakan wanita cerdas, mudah bergaul juga. 

Katanya sih sebab para wanita begitu mengagumi kakaknya yang tampan itu. Dapat persetujuan adik merupakan satu-satunya cara menjadi jembatan untuk mereka. Selain itu, restu sang adik di butuhkan untuk memperkuat kedekatan. Ia selisih lima tahun dari kakaknya dan kandidat wanita cantik masih di pegangnya di sekolah ini. Para laki-laki selalu heboh jika dia duduk di kantin. Dia berolahraga, mereka hanya akan menontoninya. Senyuman yang manis dengan dua lesung pipi kecil menjadi ciri khasnya. Selain itu, sebagian besar dari mereka tak ada yang berani mendekati Ayi. Sebab dia adik dari Das. Lelaki arogan bertubuh kekar itu, siapa yang akan berani mendekatinya. Ditambah dengan satu fakta bahwa pria itu teramat menyayangi adiknya dan jangan pernah bermain-main degan saudaranya jika dirimu tak berniat di banting menggunakan jurus takewondoonya. 

''Kita pergi sekarang?" Ribka memulai percakapan yang tak susah-susah langsung menjadi perhatian mengubah kelas ini menjadi hening. 

"Ayo! Kau duluan." Kemudian suara Ayi terdengar setelahnya. Entah karena kelas ini yang terlalu sunyi atau degup jantung mereka yang terlalu lantang menunjukan eksistensi. Seolah mereka di lempar rudal di siang hari. Tak menyangka dengan apa yang mereka lihat di depan sana. Ini benar-benar mengejutkan mereka sebab rumor itu nyata adanya. Ribka si kaya dan Ayi si primadona ternyata memiliki hubungan yang samar untuk di utarakan. 

Mereka. Apa? tunggu. Benar. 

Aku bersyukur atas hidupku sebab digariskan menjadi tetangga perempuan itu. Serta merta mulut mereka yang berbentuk O menjadi kepuasan tersendiri atas diriku sebab aku lebih dulu tahu dari mereka. 

Meski kuakui. Rasa sakit tertanam lebih dari apa yang kubayangkan selama ini. 

 

 

Tahun ajaran baru di mulai. Suasana baru, kelas baru, tanggal satu hari ini menjadi pengalaman yang ikut baru untuk kami. Pasalnya gosip dan rumor sudah merajalela dan bukti pembenaran telak membabi buta sebab semuanya nyata. Tak ada rumor, tak ada kalimat-kalimat omong kosong. 

Inilah kenapa perkataan lebih rendah tingkatannya di banding bukti. Semua kalimat ketikan telah tersusun di mana-mana, terlebih web sekolah dan grup chat para siswa. Ramai di perbincangkan antara Ayi dan Ribka. Mereka sempat menghilang beberapa waktu. Aku mengetahuinya sebab kedua keluarga mereka sempat jadi topik obrolan di keluarga kami, terlebih ibu. Ia sedikitnya cemas sebab bagaimanapun Ayi dan kakaknya telah tinggal di sebelah kami sejak lama. Itulah yang jadi alasan kuat mengapa ibu repot-repot selalu menyuruhku memberikan banyak hal untuk mereka. Terlebih makanan dan sejenisnya. 

"Aku tak tahu, kenapa kalian bertanya padaku?" 

Jelas itu yang kuutarakan saat para temanku lebih mencondongkan torsonya bak ikan yang baru saja di lempari makanan. Mereka menginginkan banyak hal untuk pengetahuan dirinya, kepuasan setelahnya, dan apa lagi seterusnya?

Jika baik untuk diucapkan aku akan mengatakan pada mereka bahwa Ayi dan Ribka terjerat kasus narkoba yang sering mereka gosipkan setiap saat. Itu yang sempat kudengar dari malam ketika ibu tersendu-sendu menangis di ruang tengah dengan bergumam penuh kekhawatiran. Padahal aku anak tunggalnya dan Ayi, jelas perempuan itulah yang ibu tangisi. Tapi aku tak mau repot-repot menyampaikan itu pada mereka, meski kesempatan besar menjatuhkan laki-laki yang akhir-akhir ini dekat dengan Ayi sangat besar. Tidak, aku tak mau bersaing dengan Ribka menggunakan cara pengecut seperti itu. 

Pada akhirnya, mereka hilang. Tak ada yang mengetahui dimana keberaadaan mereka berdua. Sebelum sempat bertanya-tanya. Di suatu malam kakak laki-lakinya datang menemui keluarga kami, memberi beribu ucapan terima kasih pada ibuku dan hal yang tak terduga lainya, ia meminta waktuku untuk berbicara dengannya. 

Kakak Ayi merupakan pria yang di takuti. Itu jelas sebab latar belakangnya yang absurd di tambah riwayat pendidikannya yang acak-acakan. Tapi isu itu hanya sayup-sayup terdengar di kupingku. Masalahnya, pria itu tak pernah mengajakku minum alkohol atau hal-hal semacamnya sekalipun hubungan kami tak bisa dikatakan renggang sekalipun. 

"Aku tau kau menyukai adikku." 

Kalimat pertama yang di ucapkannya tak membuatku tertohok sama sekali. Terkejut, ya. Tapi itu tak merubah apapun. Aku terbiasa dengan instingnya sebab dia kakakku.

"Kau selalu tahu lebih dari diriku sendiri, kak," ucapku kecut pada akhirnya. Kak Das tersenyum sekilas. Entah ia tak habis pikir dengan tetangganya yang tolol ini atau apa. Yang pasti saat ia tiba-tiba merangkul pundakku membawa punggung kami bersandar di punggung sofa, pria itu bernafas setelahnya. 

"Ayi akan bersama ayah mulai malam ini." 

Tiba-tiba kepalaku menoleh padanya. Jantungku berdetak tak karuan. Mataku memindai pria itu, mencari letak kebohongan yang kak Das sembunyikan di balik wajahnya yang tampan itu. Pada akhirnya aku yang kala telak sebab, nilih. Pria itu berbicara dengan amat sangat jujur. Aku memalingkan wajah, menghembuskan nafas, berfikir sejenak. 

Itu artinya Ayi akan pergi dari sini. Pada akhirnya ia akan di seret ayahnya dan menghilang di pinggir ruamhku.  Sebanyak aku berpikir tentang masa depan, secepat itu pula kesadaranku kembali kala tepukan hangat itu berhasil mengalihkan atensiku. 

"Maaf aku menyampaikan ini. Aku tau kau pasti kecewa."

Lagi, pundakku jatuh setelahnyanya. Menghirup nafas kembali sampai udara memenuhi rongga dada. Mengalihkan atensi memandang kak Das kembali. Aku benci tiap kali merasa seemosional ini. Tapi mau bagaimana lagi. Si sialan ini tak mau kalah, ia menghalangi kerja mataku yang bertugas untuk meliat, mengaburkannya meski tak berani terjatuh sebab kutahan sampai ia kesakitan. 

Refleksku mengangkat bahu dan goncangan itu memberi akses si bebal air mata terjatuh dari pelupuknya. "Memang sudah salah dari awal, Kak," tandasku selanjutnya. 

Kak Das tak repot-repot membuang muka. Ia menarikku ke dalam pelukkannya sampai-sampai air mataku tumpah ruah membasahi kaos hitamnya. Aku kesal pada takdir. Aku kesal pada segala hal menyangkut hidupkku. Aku kecewa. Dan ini sakit lebih dari apa yang selalu kubanyangkan saat terakhir kali aku memutuskan cintakku. Kak Das mengelus sepanjang rambutku tumbuh, memberi sedikit kecupan hangat di atas ubun setelahnya dan tak mengatakan apapun. 

Pria ini irit bicara dan aku tahu dia tak akan repot-repot memberiku kata-kata penenang terlebih itu bukan hal yang bagus untuk dirinya memberi pemakluman. Ia tahu aku menyukai adiknya dan dia tak banyak mengeluarkan banyak reaksi. Dia pasti membenciku, itu pasti. Tapi alih-alih dia cepat pergi, ini malah pelukan yang ia beri. 

Aku minta maaf atas diriku. Aku memohon maaf pada Tuhan sebab aku tak bisa mengendalikan diri. Tepukan itu terus di berikan padaku seiring dengan tangisku yang mulai reda sebab lelah. Setelahnya kak Das menangkup kedua pipiku menggunakana tangannya yang besar, mengusap jejak air mataku di pipi sebelum ia mengecup kelopak mata bergantian.

Tiba-tiba aku mendengus pelan di buatnya, konyol. Ini sungguh menggelikan dan itu tertular pada laki-laki di depannku yang tersenyum mengikutiku. 

Kak Das bagian dari hidupku. Salah satu pria kekar terbaik yang pernah aku jumpai sepanjang masa. Dia menyongsong hidup untuk adikknya dan dia akan menjadi yang terdepan untuk menjaganya. Terlepas dari fakta bahwa adiknya akan pergi dan Ribka yang entah bagaimana kabarnya pria itu sekarang. Kebanyakan berpikir membuatku hilang akal sesaat sampai-sampai kak Das menyadarkanku kembali dengan elusan di tengkuk mengiringinya. 

"Kurasa sebaiknya kau mencari pria sekarang," katanya yang membuatku terkekeh kembali. 

Tentu saja itu harus. Kata orang, kodrat normal manusia memang seperti itu.  

"Aku merasa tersinggung," ucapku main-main. Dan kak Das tersenyum simpul di buatnya. 

Sebelum drama ini selesai dan ia menyudahi bagian kita dengan berpamitan undur diri. Malam ini dan malam-malam yang sering kita lewati sebelumnya, aku tiba-tiba merasakan sedikit rasa cemas tak berdasar. Kak Das mengangkat tubuhnya perlahan menjauhkan bokongnya dari sofaku, menghela nafas sebentar sebelum sempurnalah dia berdiri. Mataku mengikuti pergerakannya sebelum melambunglah pertanyaan berikutnya.

"Kak, pergi juga?"  Aku harap-harap cemas di buatnya. Biasanya tak sampai seperti ini. Percakapan yang kami ciptakan selalu berakhir dengan damai dan tenang untuk sekian waktu yang kita lewati. Malam ini aku malah makin tak karuan dengan kata 'pergi'. Ini terasa seperti, aku tak tahu. Aku tak mau tahu. Aku pasti mulai menambah satu kata yang membuatku benci sekarang. 

Kas Das memandangku. Sorot matanya mengarah ke mataku dan aku melakukan hal yang sama. Tubuhnya yang berdiri dengan tinggi menjulang membuatku mendongk mengimbangi dirinya. Pria itu lagi-lagi memberiku senyuman penuh di wajahnya sebelum berucap, 

"Sebanyak kau tak menyuruhku melakukannya, aku akan tetap tinggal."

 

 

 

 

 

Fin

 

 

Komentar

Postingan Populer