Kotak kosong

 Untuk beberapa alasan. Wanita itu idealnya di beri tiga pilihan, sebenarnya bukan cuma wanita, sih. Tapi sebab yang tertempel di antara selangkanganku hanyalah kewanitaan. Jadi, ya aku sebut saja wanita. Terkait tiga hal tadi. Setelah kau berhasil menyelesaikan SMU mu. 

"Kalau kau mau kemana?" 

Aku terdiam. Menyematkan jari-jemariku pada tangan yang satunya berfikir sejenak. 

"Tak tahu. Mungkin kerja, atau sekolah kalu memungkinkan." Tandasku pada akhirnya. 

Chesa memiringkan kepalanya, mencondongkan sedikit torsonya ke arahku sampai aku harus berusaha sedikit mundur. 

"Menikah?" tanyanya sedikit berbisik. 

Aku buru-buru menjauhkan tubuhnya dariku. Chesa mengerinyit dan aku lebih mengerinyit lagi sebab bau parfum yang wanita ini guyurkan mencemari penciumanku. 

"Ish, apa sih. Nikah-nikah. Eh, Sa. Emangnya siap mengabdi pada satu laki-laki." 

Wanita itu mengangkat bahunya tak peduli. Merotasikan kedua matanya sebelum beralih lagi menatapku setelah menghembuskan nafas. 

"Kamu ini, selalu saja. Aku jadi menyesal bertanya padamu." 

Aku tahu Chesa kesal. Aku juga tahu kalau wanita ini muak bertanya padakku. Ia pergi sembari menghentak-hentakkan kakinya menjauh. Setelah topik memuakan yang guru berikan pada para siswa, tentu saja mereka jadi terfokus pada satu pembahasan dan akan lebih meningkatkan rasa ingin tahu pada seluruh teman sekelasnya. Tapi apa peduliku? 

Saat namaku di panggil. Rasa lelah tiba-tiba menyerangku. Kakiku serasa sulit bergerak meski kuseret ia dengan penuh kekuatan. Aku benar-benar tak ingin peduli dengan tatapan orang-orang, meski sadar mereka memandangku dengan tatapan menjengkelkan sepanjang masa. Aku tak suka. 

Sekarang aku berhasil. Mendudukan bokongku di kursi berhadapan dengan wajah cantik bu Nami di depanku. 

"Jadi, apa cita-citamu?" Perempuan itu sempat menghela nafas sebelum bertanya. Dan aku lebih tertarik pada wajahnya yang berseri itu, meski sekarang tertekuk menuliskan sesuatu di bukunya. 

Wanita ini, meski telah mempunyai lima anak dan bekerja di sekolah yang memuakan ini sempat-sempatnya mempunyai kilat-kikat sabar  kala aku menjawab sedikit ogah. 

"Jika menjadi kaya merupakan salah satu cita-cita, maka tuliskan saja, Bu. Saya tak keberatan, kok." 

Wanita lima puluh tahunan itu kembali menarik nafas. Menghembuskan kembali secara pelan sebelum menjawab. "Kau selalu saja menjawab tanpa pikir panjang. Maksud ibu, dengan cara apa kau ingin menjadi kaya?" 

Aku mendengus pelan, memandang wali kelasku itu dengan lamat sebelum diam. Aih. Memuakan sekali. 

"Ya, gak tahu, Bu. Gak kepikiran mau jadi apa. Yang pasti mau banyak uang, aja." 

Bu Nami menatapku sedikit lama. Aku hanya 'menghadiahinya' senyuman terbaikku sebelum tangan bu Nami menuliskan sesuatu kembali di buku catatannya. Mungkin jawabanku tadi, atau mungkin sesuatu yang lain? Entahlah. 

"Sebenarnya ibu lelah menghadapi sikapmu ini." ucapnya tiba-tiba. Dan aku juga tahu, ibu selalu mengatakannya berkali-kali jika kita berhadapan seperti ini. Jawabku dalam hati. 

"Tapi otakmu tak bisa ibu abaikan begitu saja. Apa kau akan langsung bekerja?" 

Mungkin ya atau mungkin, entahlah. Lagian aku tak mempunyai alasan apapun untuk mengatakan tidak. Umurku sudah mencukupi untuk memasukan CV ke pabrik-pabrik. Aku sudah mempunyai kartu legal. Sebentar lagi memiliki ijazah. Tak pernah berbuat kriminal, jadi akan mudah mendapatkan SKCK dari kantor polisi. Apa lagi yang perlu aku cemaskan. 

"Dengarkan ibu. Untuk menjadi 'kaya' seperti yang kau katakan, maka kau perlu memiliki tujuan untuk mencapai 'kaya' tersebut. Apa kau sudah memilikinya?" 

Aku hanya cengengesan. Aku senang melihat wali kelasku terlihat begitu jengkel. Nafasnya sedikit memburu mengeluarkan kesabarannya dan menekan amarah yang takut-takut keluar lewat mata, memelotitiku dan tangan menggebrak meja mengagetkanku. 

Tidak, bu Nami jarang seperti itu, kok. Tangan itu masih setia menulis-nulis sesuatu yang entah sudah keberapa kalimat. Sedikit mengabaikanku meski aku masih duduk di hadapannya. 


Yah, ini ritual yang menjengkelkan. Para murid akan di tanyai beberapa pertanyaan terkait masa depan mereka. Kuliah atau bekerja. Jika kuliah mau universitas mana? Jurusan apa? dan lain sebagainya. Jika pun bekerja, mau di mana? Sebagai apa? dan bla bla bla. 

Aku memiliki keberuntungan sebab beberapa alasan dan sekolah akan 'membantu mewujudkan' keinginan para siswa. Bukan 'para' juga sih. Lebih tepatnya, mereka yang memiliki otak lebih encer dan berdedikasi akan menaikkan nama sekolah yang lebih 'di usahakan' pihak sekolah. Semua siswa di tanyai hanya untuk formalitas  saja. Sebab tujuannya cuma beberapa siswa. Maka, agar terlihat 'adil' jadi semuanya ikut terlibat. Meski tak penting dan tak terlalu butuh juga. 

Aku mengetahuinya sebab, aku memang tahu. Pun bu Nami masih di sana menatapku lekat menunggu jawaban. 

Aku sedikit berfikir, mengalihkan pandangan sembari menerka-nerka apa yang harus aku katakan. 

"Entahlah, Bu. Gimana nantinya ." Jawabku santai setelah total tak kutemukan keinginan pasti terkait 'cita-cita' yang guruku pertanyakan. 

"Kau tak lupa 'kan manusia itu bisa berencana?" ujar Bu Nami sedikit menekan kata-katanya. 

"Dan ibu juga tak lupa kan kalau rencana bisa saja menghianati kita?" lanjutku kemudian. Bu Nami terdiam, menatapku lekat selagi aku melanjutkan,"Tanpa rencana, setidaknya aku sudah meminimalisir kekecewaan. Sebab rencana, bisa saja tak sesuai kenyataan, 'kan?!" 

Bu Nami memalingkan wajah. Membiarkan diriku pergi setelah sesiku selesai dilakukan. Serta merta aku sempat mendengar penggalan kalimat yang wali kelasku ucapkan sebelum aku benar-benar menutup pintu dan tersenyum kecil setelahnya.

"Setidaknya, kau jangan memusnahkan harapan dan keinginanmu." 


Aku memabalikan tubuh ke sisi kiri. Kembali melekat bersama website-website yang setidaknya mampu menjawab apapun yang aku butuhkan. Karl masih memandangiku di sudut ruangan. Aku tak harus melulu peduli dengan wajahnya atau jenggotnya yang menjerembai menutup dagu. Aku hanya bisa mencerna sedikit pemikirannya sampai aku mau-mau saja mencari universitas yang sudi menampungku. 

Upah pun di atur serendah mungkin tetapi tetap bisa menjaga agar persediaan pekerja tetap hidup. 

Satu penggalan kalimat bapak itu kuingat hingga saat ini. Bahkan, mungkin ia juga yang memacu diriku ingin cepat-cepat mendapat universitas dan memaki-maki pekerjaanku di toko. 

Selain sepi sebab aku tak bisa koar-koar bersama teman-teman. Aku juga selalu merasa asing dengan diriku yang saat itu. Bekerja bukan satu-satunya opsi. Meski aku membutuhkannya untuk bertahan hidup. Tapi itu hanya masalah pribadi. 

Menjadi pegawai toko bukan hal yang terlalu aku gemari. Meski sadar gajinya tak sebesar buruh pabrik, setidaknya aku bisa berbelanja dengan berkecukupan. Tapi saat ini. Tentu saja pemikiranku berubah lagi. Di pikir-pikir. Aku tak begitu menginginkan kemauan personal semacam ini. 

Apa aku akan terus bekerja sampai aku tua nanti? Mengulang-ngulang aktifitasku tanpa libur sama sekali? 

Eh, eh. Libur? Sepertinya aku lupa. Sebenarnya aku di beri kesempatan sih untuk cuti satu sampai dua hari pulang ke rumah. Tapi itupun sebulan sekali. Jika aku bisa, aku takkan mau menginap di rumah majikanku dan lebih baik bolak-malik pulang ke rumahku. Tapi peraturannya berbeda di sini. Dengan gaji tujuh ratus ribuku selama sebulan takkan mencukupi untuk aku menyewa gojeg bulak balik dan menahan hasrat jajan seblakku setiap kali aku bersinghungan dengan warungnya. 

Tapi, di sini juga aku tak kuat hanya duduk di atas kursi menunggu pelanggan, menawarinya pilihan dan mencekoki mereka sampai mau membeli barang yang dijajakkan. Aku bekerja di toko baju. Siklusnya sama. Pagi-pagi, aku membereskan rumah majikan, memasak untuk sarapan, turun ke bawah, membereskan toko, setelah itu menunggu pelanggan sampai sore, pekerjaan selesai. Aku kembali ke dapur, memasak makanan. Sampai aku kembali tidur dan bangun lagi menjalankan siklus yang sama. 

Aku mempunyai teman di sana meski impian mereka setelah toko ini, hanya menikah dan menyerahkan hidupnya sepenuh hati pada suami kelak.

Apa aku juga akan seperti itu? Apa aku hanya akan jadi buruh sampai aku menikah dan berhenti setelah punya suami? Lalu mengurus anak-anak, rumah, dan sedikit membantu 'priaku' bila sewaktu-waktu nasib kami tak sampai pada taraf mencukupi? 

Apa aku hanya akan memikirkan diriku? Kehidupanku? Keluargaku? Apa aku hanya akan memikirkan diriku saja di dalam kehidupan ini? 

*Ting

Satu notifikasi membekukanku. Menatap layar ponselku lamat, menyentuh dial dan membacanya. 

Lagi. Notifikasi yang sama terkait ujian masuk perguruan tinggi. Aku membacanya lamat-lamat sampai kepalaku pusing kembali. 

"Aih. Ini bahkan lebih sulit dari masuk entertainment korea!" tandasku frustasi. 

Sialan. Aku mendudukan bokongku di atas tempat tidur. Bergulir membaca kembali lekat-lekat jadwal ujian selanjutnya yang akan aku ikuti. 

 Aku di berhentikan dari toko setelah hampir tiga minggu aku tak kembali kesana. Aku diserang penyakit lambung dan migren di kepala. Dokter bilang aku mengalami tipes dan hipotensi dengan tekanan darah rendah sebesar 80 mmHg. Ujung-ujungnya, aku di infus selama satu malam. Dokter juga melakukan pemeriksaan memastikan aku tak terkena demam berdarah dan itu juga cukup menguras kantong. Aku membayar untuk sekali pemeriksaan sebesar setengah juta. Bahkan itu tak sebanding dengan gajiku sebulan yang hanya tujuh ratus ribu. 

Untungnya aku memiliki sisa-sisa uang tabungan untuk bertekad masuk universitas. 

Dengan berbagai cara. Sampai rasanya kepalaku sudah bolong sebab aku selalu gagal mengikuti program beasiswa pemerintah. Menggunakan kartu miskinpun tidak cukup. Entah kenapa keberuntunganku sangat tipis sekali. 

Aku mendengar suara gaduh dari arah depan. Aku tak perlu membuktikan itu maling atau seseorang gila yang coba memasuki rumah. Sebab hanya dengan menajamkan pendengaranku mengamati derap langkahnya, aku sudah tahu bahwa itu kakakku. 

Suaranya menghilang di balik pintu. Mungkin laki-laki itu pergi kedapur atau mungin melakukan sesuatu yang lain. Aku tak begitu peduli. Selain aku harus mengingat-ngingat jadwal 'perangku' selanjutnya. Aku juga malas menghampirinya.

"Hey. Kau punya uang?"

"Anjir!"

Eh. Aku memalingkan muka. Melemparkan pandangan sinis kepada si pelaku. Kakakku dengan ogah membuka pitu kamarku lebar-lebar. Menyalakan saklar lampu sampai benda itu menjalani tugasnya menerangi ruangan. Aku mendengus. Tentu saja aku selalu tak suka dengan seseorang yang tanpa permisi menyalakan lampu ruanganku. Apalagi ini kakak laki-lakiku. Yang merangkap jadi pria menyebalkan yang telah mengagetkanku. 

Ia masih berdiri di ambang pintu, setia menunggu jawaban dan mengabaikan makianku. 

"Hey, aku cuma tanya. Kau punya uang?" ulangnya sekali lagi. 

Aku mendengus tentu saja. Malas menjawab sebenarnya kala tahu tujuan ia bertanya, "Aku cuma punya nyawa." ucapku tak acuh. 

Pria itu menghembuskan nafas. Melangkahkan kakinya menyusuri kamarku lebih dalam. 

"Ayolah. Aku mau pergi lagi. Paket COD ku datang hari ini," paparnya mendudukan dirinya di kursi belajarku. Aku memandangnya sinis. Berdecak setelahnya sebelum menjawab, "Kesini cuma buat malak doang?" 

Kakakku berdiri, highlight blonde berkilat-kilat di sela-sela rambut keritingnya. Setelah sampai di hadapanku, ia menampilkan deretan giginya memberi hawa-hawa menyebalkan. "Ayolah. Cuma dua ratus ribu kok. Yah, yah." 

Lagi-lagi aku merotasikan bola mata merasa jijik. Tingkahnya bahkan tak terlihat umur dua delapan tahunan. Ia malah terlihat seperti laki-laki sinting menjengkelkan. 

"Sana pergi. Aku tak punya," tandasku pada akhirnya. Aku makin pusing. Sebab terakhir kali aku membayar paketnya yang harga seratus ribu. Isinya cuman satu kolor doang. Sebenarnya harga aslinya hanya lima puluh lima ribu. Cuman ongkir yang hampir setara dengan satu kolornya itu yang membuatku tak habis fikir dengan tingkahnya. Itu gak tahu dia bodoh atau tulalit, atau dia memang tak bisa menggunanakan unikorn negara dengan baik tanpa harus rugi. 

Kakakku berdecak sebelum memukul kepalaku. "Jangan mikir bodo. Itu masalah kolor cuman kepencet doang, yah!" 

Aku meringis, merasakan kepalaku di tempeleng kakak sendiri bukanlah sesuatu yang menyenangkan. Sekali lagi mengerinyit saat tanpa sadar kaget pula, kenapa kakakku tahu aku memikirkan kolor sialannya. 

"Aku cuma melakukan kesalahan sekali dan kau masih saja mengungkit-ngungkitnya." ujar kakakku lagi. "Aku pergi sekarang. Kau di sini jaga rumah." lanjutnya mengingatkan. 

Aku memandangnya, memasang muka tak habis fikir sebelum berucap, "Kau menyusahkan. Sudah bekerja tapi kau malakin orang pengangguran." 

Kakakku menajamkan penglihatannya, sekali lagi menjitak kepalaku sebelum menjawab, "Diam kamu. Ini cuma minjem doang belum gajihan," terangnya demikian. 

Aku tetap tak terima. Kepalaku mendapat kekerasan sebanyak dua kali dan pria itu masih enteng mengucapkan 'minjem'

Akhirnya aku menghembuskan nafas lelah. "Mau bagaimana lagi? Asal kau mengatakan aku 'cantik' baru aku bersedia meminjamkan," godaku usil. Dan tahu apa yang dia ucapkan? 

Pria tinggi 186 cm itu kembali menatap 'adik kandungnya sendiri' sebelum ia mengumpat, "Najis!" 

Aku kesal_sekaligus curiga. Dia itu kakak ku atau bukan sih. Kayaknya kita tidak lahir dalam rahim yang sama, pasti. Apa sebenarnya hubungan kita ini sebatas anak tiri? 


Kakakku melengos, melangkahkan daksanya menjauhiku dan langsung pergi tanpa sempat aku berkata. Padahal aku cuma mau berteriak agar mematikan lampu dan menutup pintu kembali. Tapi pria itu tak repot-repot melakukannya. Aku mau mengomel sebenarnya. 

Tapi, satu notifikasi lagi berhasil mengalihkan atensiku. 

Apa? Tunggu-tunggu. Ini aku tak salah baca, kan? 


Tapi kapan aku mengikuti ujian di sekolah swasta sampai aku berhasil terdaftar menjadi mahasiswa? 


"Ouh, dan satu lagi. Terkait sekolahmu, aku sudah menyuruh seorang kenalan untuk memasukanmu. Jangan memujiku. Bayar saja COD ku." Kakakku bilang. Tiba-tiba ia muncul di balik tembok yang belum sempat pintunya tutup. Aku bahkan belum sempat mengucapkan beberapa patah kata sebelum kakakku sudah mengunci pintu depan dari luar dan motor vespanya yang terdengar menjauhi pekarangan rumah. 


Aku melongo. Tak bisa berfikir sebelum berucap dalam hati. "Pantesan orang-orang lebih suka menggunakan jasa ordal," batinku sembari menggeleng-gelengkan kepala. 




19 Juni 2022






Komentar

Postingan Populer