Jadi, setelah hari ini?

Karena pada setiap keadaan yang menjemukan terdapat harapan yang kau genggam. Chesa tak mau menangisi hidupnya meski bebal dan memuakan. Makian terus perempuan itu lontarkan meski sadar harusnya ia bersyukur dari setiap keadaan. Menaruh iba memungut dilema. Mencari nafas yang bersembunyi di balik tenggorokan. Buliran air mata menjegal tapi itu hanyalah serpihan. Karena Bangtan tak meyuruhnya bermimpi, tak seperti mamahnya, tak seperti orang-orang terdekatnya yang berharap terlalu banyak akan dirinya. Jujur saja, ia selalu tak siap di beri sebuah harapan. Karena itu beban dan Jimin mengatakan kalau di balik harapan pasti akan ada cobaan. Dan Chesa selalu tak siap dengan cobaan itu. Tapi mereka_Bangtan_ menyuruhnya bahagia, hanya bahagia. Karena nafasmu saja adalah surga, katanya.

Namjun juga bilang kalau mimpi adalah hutang yang harus dibayar. Lihat? apa yang ia temukan setelah bertahun-tahun ini. 

Chesa berharap mimipi itu menjadi sebuah kesiapan bagi dirinya untuk bertahan lewat keadaan. Bukan mengikuti tren orang lain yang disebut 'sukses' dengan standar manusia itu sendiri. Perempuan itu tak berniat di pandang 'berhasil' dengan julukan anak spine breaker. Mamah bapaknya bukan kuda, mereka tak perlu menanggung semua biaya kuliah yang dirinya butuhkan, benar. Karena pada dasarnya sebagian dari dirinya berharap bisa jadi sarjana hanya untuk citra keluarga saja. 

Negara ini jelas tak mengelompokan strata sosial rakyatnya. Mau kamu miskin, kaya, biasa saja, apapun itu. Yah, maksudnya tak secara tertulis. Sebab kenyataannya. Pada dasar yang sebenar-benarnya. Manusia selalu mengelompokan diri mereka. Bahkan kau bisa melihat di kelas mana kau berada hanya dengan telepon genggam. Hah, kenapa kehidupan ini begitu memuakkan. 

"Ce, sesuai perjanjian. Aku yang pertama, kau sesudahnya, oke." 

Chesa memutar bola mata. Memandang wajahnya sekilas sebelum kembali menontoni kemasan sabun mandi yang banyak drama. Menata mereka sebelum, lagi. Memandang wajah temannya yang menyebalkan itu. 

"Yah, sesuai perjanjian. Kau bahkan mengingatkanku ribuan kali, Sinta." 

Setelahnya Chesa memberinya senyum.  Yah, senyuman cerah secerah model iklan pasta gigi yang produknya tepat di belakang Sinta. Wanita itu kemudian  tertawa sumbang, menepuk pundak sebelum  berkata, "Itu artinya aku harus pergi. Bye!"  

Sinta pergi meninggalkan kejengkelan yang dibiarkannya mengendap bersama Chesa di dalam ruangan. Wanita itu menghela nafas sekedar memungut apa-apa yang seharusnya tak ia keluarkan.

Jengah. Tentu saja wanita itu merasakannya. Hanya saja ia ingat bahwa seseorang pernah berkata padanya untuk tidak membiarkan setan menguasaimu. Itu artinya Chesa hanya tak boleh membiarkan kemarahan menguasainya meski mereka telah berkumpul di atas kepala siap meledak kapan saja.Wanita itu memandangi pembeli yang berseliweran silih berganti memungut barang yang ia jajakan dengan pandangan kosong. Senyumnya hilang dan muka datar tanpa ekspresinya ia biarkan tampil.   

Aroma sejumlah produk pertokoan menguar memenuhi penciuman. Wanita itu duduk di balik meja kasir. Menerima sejumlah barang yang disodorkan untuk diperiksanya dalam mesin scan barang. Menyobekan struk barang bukti pembelanjaan sebelum di berikannya pada sang pembeli dengan wajah berseri.

Chesa memandangi kembali rak-rak pertokoan yang monoton tak menarik minat. Dinginnya air conditioner tak serta merta membuatnya harus menjulurkan jaket melindungi tulangnya yang kelewat dingin.

Pil pereda demam sudah di tenggaknya dua butir tadi. Bukan karena dia benar-benar panas atau keningnya benar-benar terbakar seperti wajan yang bertengger di kompor menyala. Hanya saja, ia merasakan sedikit ketidaknyamanan pada tubuhnya yang ia sendiri pun tak tahu kenapa.

Ia teringat tesisnya yang belum rampung sampai sekarang. Pekerjaan malah menbuatnya lebih sibuk dari keharusan dan kewajiban ia mengenyam pendididkan, ia malah tak bisa membagi waktunya dan mengepak beberapa jam untuk dirinya sisihkan saat di butuhkan. Wanita itu kembali merusak rencanayana sendiri.

Temannya yang kelewat baik itu akhirnya tak kembali sampai jam tutup toko selesai. Membuatnya sendirian dan memegang tanggung jawab penuh atas tempat penyedia bahan poko ini menjadi keharusannya. Ia tak pernah merasa terpaksa untuk sebuah pekerjaan.  

Meskipun manusia-manusia disekelilingnya membuatnya seperti itu, membuatnya merasa menjadi seseorang yang seperti itu. Mimpinya benar-benar banyak, bahkan ia bingung untuk memilihnya satu. Modal hidupnya tak memberi kesempatan untuk itu, atau memang ia yang kurang usaha, yah. Dirinya tak tahu. Mamahnya tak pernah berkomentar terkait sekolahnya yang molor selama hampir tujuh tahun, dan bapaknya juga tak memberi tanggapan apa-apa terkait dirinya yang seringnya di sebut mahasiswa abadi. Atau kemungkinan terburuknya, bapaknya malah menganggap Chesa sudah keluar tak berkuliah lagi. Entahlah, dirinya hanya sedang memikirkan hal-hal terburuk yang menimpanya.

Padahal dulu sebelum dia benar-benar keluar dari sekolah menegahnya. Wanita itu memiliki semangat yang tinggi untuk mengetahui hidup orang lain. Keinginan mereka, masa depannya, rencana mereka. Chesa selalu ingin tahu itu semua. Tapi sekarang, jangankan memikirkan hidup orang lain. Hidup dirinya saja serasa begitu sepat dan mala hanya untuk di pikirkan.

Pijakan kakinya masih setia melangkah dengan sedikit gontai. Pakaiannya sudah bertanspormasi menjadi hoodie moka yang sering ia kenakan sepanjang pulang kerja.

Bulan masih menyembul malu-malu bersembunyi di langit kelabu. Awan menjegalnya sampai ia sulit untuk menampkan cahaya kuning keemasan itu. Yang ada hanya segelintir gempita yang bersekongkol dengan dirinya. Memaksanya muram untuk kedewasaan yang kata orang lain harus di persiapkan, di jalani dengan kebijaksanaan dan lalui dengan penuh kematangan. Sampai dirinya merasa, itu semua hanyalah omongan memuakkan yang keluar dari mulut-mulut berlendir yang di bungkus saliva.    

Tetiba pijakannya terhenti di depan toserba yang kemelut dengan lampu temaram yang dibiarkan pemilik toko menyala. Mobil dan motor masih silih berganti meski fokusnya sekarang hanya mengarah pada sesuatu di depannya. Suara bising teredam, hawa dingin sudah tak ia rasakan selain hangat di pipinya saat bendungan sungai itu jebol. Memilin ujung pakayan yang dinekanaknnya, meniti, menilik nilik tikus yang mati setelah di kejar-kejar kucing dan hilang nyawanya saat hendak melompat di lindas mobil truk. Entah sebab ia kasihan pada sang tikus yang terkapar di pinggir trotoar, atau ia menangis sebab melihat penyesalan si kucing yang terlalu besar untuk itu.

Atau mungkin alasan lain, yang tak ada kaitannya dengan tikus itu, dengan kucing itu, maupun dengan mobil besar yang tega membunuh hewan kecil itu.                                                                                                                       

 

Kamis, 11 Agustus 2022

Komentar

Postingan Populer