MALAISE
“Oke, baiklah. Jadi itu yang kau inginkan sekarang?”
tanya pria di sebrang sana.
“Ouh, tidak Jim bukan itu. Tentu saja bukan. Aku tak
berharap dia pergi seperti ini.” Yoongi menukas tajam. Yah, atas semua yang
terjadi. Mana mungkin seorang kakak membiarkan adiknya terlantar sendiri.
“Tapi yang terjadi memang begitu adanya, Yoon.” Kalah
telak. Yoongi mendadak tercekat. Perkataan Jimin yang jujur melahap habis semua
kosakatanya. Tiba-tiba ia membayangi adiknya. Bagaimana keadaannya sekarang?
…..
Sedangkan perjalanananya masih belum selesai. Ia
membutuhkan bebrapa jam lagi untuk sampai di tempat yang ditujunya.
Angin sore menerpa wajahnya di balik kaki gunung.
Sinar jingga masih menyoroti jalannya berlalu dengan bantuan awan yang coba
menutupinya. Kebun teh terhampar luas di kanan kiri berlalu membentuk
bukit-bukit kecil mengiringinya.
Jalanan berkelok di tepi gunung dan ia masih setia
memegangi besi mikro mini dengan tanpa minat. Menghela nafas berkali-kali,
mengingat takdir dirinya yang pahit sekali.
Taehyung menyadari satu hal. Harga dari sebuah
kesalahan adalah pembalasan yang setimpal. Itu yang Taehyung ingat seraya
meratapi nasib. Kutipan yang entah pernah dia dengar dari mana, mungkin dari
buku, dari mural yang dibuat di dinding-dinding jalan, atau mungkin ia
mengutipnya sendiri seraya duduk di kursi.
Perjalanan panjang ini sangat melelahkan. Namun seraya
meniti kembai kehidupannya Taehyung tahu kalu dirinya mungkin takan sepaarah
itu untuk merombak hidupnya kembali. Tapi masih, dia berusaha dan akan terus
berusaha.
“Jadi yang dikatakana orang-orang itu benar? Semua itu
benar? Kau beruhubungan dengan Jungkook?!” Kemarahan Yoongi meluap. Pria itu
meneriaki sang adik dengan begitu murka.
Taehyung hanya memandangnya. Menatap nanar kemarahan
kakaknya tanpa berkedip samasekali. Tak mengeluarkan sepatah kata pun untuk
menit yang entah keberapa kali. Kekecewaan jelas tersirat di dalamnya,penuh
dengan kekosongan, hampa merayap masuk hingga ia mendadak beku seketika.
Yoongi jelas menyaksikan itu semua. Tapi alih-alih
peduli, pria itu malah meneruskan ucapannya, “Apa kau bodoh? Apa kau begitu tolol untuk menggunakan otakmu?”
“Kau harus sadar Taehyung dia itu laki-laki. Ingat
laki-laki!” Yoongi memperjelas. Dan Taehyung adiknya menyadari itu semua.
Hanya saja siapa yang berani melawan. Tahyung. Pria
itu bahkan paham dengan apa yang terjadi. Kelewat paham malah. Namun, hati tak
bisa dirinya bohongi. Lagian sebenarnya, situasi ini konyol sekali dan Taehyung
tak mau memperjelas. Tidak sampai ia menghancurkan kutukan yang menjerat
dirinya dan kembali lagi pada kehidupan lamanya.
Oke, lupakan. Sekarang hanya tersisa kilat-kilat
kewarasan saja. Perutnya melilit setelah ia beberapa kali muntah. Kepalanya
pening dan ia tak bisa menanggulangi sesak yang ditimbulkan dari nafas-nafas para penumpang mobil ini.
“Huuhh…” nafasnya di hembuskan kembali setelah ia
membuang kantung muntahan untuk yang kesekian kali. Jalan berkelok ini tiada
ujung. Dan Taehyung sekarat di buatnya. Buliran keringat masih menetes sebesar
biji jagung. Bibirnya bergetar karena sumpah! Ini mabuk darat paling merepotkan
yang pernah ia alami.
Tiba-tiba kekehan di sebelah pria itu membuyarkan rasa
kantuknya. Meski dengan mata sedikit sayu, Taehyung tetap menoleh menyaksikan
seorang wanita menertawai dirinya. Ia malas bercakap-cakap kalau situasinya
begini. Tapi pria itu juga risih di tatap dengan penuh ejekan begitu.
“Ya ampun, kau baru pertama kali bepergian, yah?”
Pria itu terdiam, tak berniat menanggapi sebenarnya. Hanya
saja mulutnya tak bisa berkompromi dan tetap mengeluarkan decakkan sebal.
“Sok tahu sekali anda.” Pria itu menimpali. Memutar
kedua bola mata malas sebelum ia kembali bicara, “Lagian persepsi dari mana
mabuk darat kurang bepergian?”
Taehyung sedikit melenguh, membenarkan posisi duduk
yang sedikit melorot dan kembali tegak mendengarkan ocehan gadis itu. “Kau
tahu, kupikir laki-lagi tak pernah muntah. Apa lagi mabuk darat,” timpalnya
mengejek. Kekehan itu tak henti-henti menyurutkan emosi Taehyung. Yang ada pria
itu gondok, dan jelas Taehyung dongkol di ejek begitu.
“Dengar ya nona. Lebih baik anda diam di tempatmu.
Perlu kuingatkan kalau kita ini tak saling kenal?”
Oke, baiklah. Wanita itu masih tak henti-hentinya memandang wajah lesu sang pemuda. Tatapan tengilnya tak bisa Taehyung abaikan begitu saja sampai sesaat kemudian si wanita melanjutkan, “Oh, iya juga, yah." Pemuda itu kira percakapannya akan cukup sampai di sana. Tapi wanita itu tetap menoleh, memandang wajahnya sebelum berkata,"Hai, aku Sabrina. Salam kenal.”
Kalimat itu di akhir dengan senyuman. Meskipun malas menanggapi tapi laki-laki itu merupakan pemuda yang diajarkan tatakrama,“Taehyung.”
Jawaban singkatnya
pemuda itu memang tak bisa menerapkan sepenuhnya pepatah orang tua. Dan itu di
buktikannya saat ini. Jauh dari hiruk piuk perkotaan. Memilih mengasingkan diri
di tempat yang asing ini. Menyakinkan diri sendiri untuk tak
melibatkan banyak orang dalam kehidupan jeleknya. Meninggalkan sang kakak,
meninggalkan teman-temannya. Dan memilih letak kehidupan paling muskil orang-orang itu
datangi.
“Jadi Taehyung, salam kenal.” Serta merta ucapan
wanita di samping itu memecakan lamunanya. Menyaksikan wajah baru sang
wanita dalam ketidak mengertian paling
sukar yang pria itu lihat.

Komentar
Posting Komentar
Anda dapat berkomentar apapun