Siasat Waktu yang Jemu
Diceritakan pada
alam semesta yang sombong dan memuakkan. Saya hampir-hampiran jengkel dengan si
gadis luyu di depan sana. Bola hitamnya kontan menusuk-nusuk dada. Tanpa hidup,
tanpa mau bicara. Seolah-olah ruyup tamat bekerja.
Si gadis bergeming saja, hanya nanar yang
ditebak-tebak rongga dipaksa terbuka. Kuamini dia dengan tulus paling serius.
Aku menghela nafas berkali-kali melihat dia yang hanya mengizinkan punggungnya
ditatap olehku. Tanpa tawa atau ekspresi apa pun, sama sekali.
Rambut sebahunya berkilau terkena cahaya
sore. Meski dia tampak tak peduli dengan apapun itu yang berkenaan dengannya.
Baiklah, kukatakan. Aneh. Semuanya, wanita itu mencolok terlihat aneh dengan
memakai setelan hitam sebagai busana. Masa iya dia salah tempat. Tapi ini kan
stadion, orang-orang memakai baju ala Jersey klub kesayangan di banding baju
hitam seperti berangkat ke pemakaman. Oke. Memang aku tak bisa menampik bahwa
yang bersetelan seperti itu juga ada. Tapi, entahlah kenapa aku malah focus pada dirinya saja.
Aku masih belum tahu dia dari sekolah
mana, mungkin dari lawan mungkin juga tidak sebab kalau itu memang benar,
kenapa dia duduk di barisan musuhnya sendiri? Wanita itu netral sepertinya.
Hanya mungin.
Tiupan panjang peluit nyaring merangsek
dalam telinga, permainan selesai. Terlonjak kaget saat Amu mengait leherku
menggunakan tangannya, aku buru-buru bangkit dari dudukku saat yang kutemukan
wanita itu masih bergeming di kursinya.
Siapa sih dia?
Amu masih mengoceh tentang permainan sepak
bola hari ini. Tim lawan menang dan kami kebobolan dua gol, tapi sahabatku ini
memandang itu sebagai bencana besar. Sebab yang dilakukan dia_"Itu gak
bisa begitu. Padahal tadi hampir aja 'kan. Kan kan kan?!"
Ia mengguncangkan bahuku dan kepalaku yang
tak di beri tenaga ikut terguncang pasrah.
"Ya, ya. Hanya hampir. Dan itu tak
'kan merubah hasil." ucapku mendorong Amu sekalian supaya dia tak terlalu
nempel di bahuku. Amu manyun, mukanya tiba-tiba masam setelah sengaja
kusingkirkan.
"Kita gak masuk final, dong,"
paparnya dan aku hanya mengangguk mengiyakan.
Selepas itu kubiarkan kembali Amu mengoceh
tanpa peduli dan hanya sedikit kutanggapi. Selebihnya perhatianku sudah kontan
melayang pada wanita aneh itu tiba-tiba.
Tapi sebanyak apapun aku memikirkannya,
itu tak membuahkan hasil apapun untukku.
Tak membuatku jadi untung, apalagi kaya.
Jadi kubiarkan lagi pikiranku melayang dengan wanita itu sebagai objek.
Saat ini sudah menunjukan pukul setengah
enam. Tapi sialan sebab aku baru bisa
kembali pulang. Ini semua tak 'kan
terjadi kalau Amu tak memaksa pulang dengan perut harus terisi. Jadi selebihnya sih sebenarnya aku harus berterimakasih
pada dia sebab menyeretku makan dulu sebelum pergi.
Sayangnya,
efek akhirnya kurang mengenakkan untukku yang malah mendapatkan apes
dengan si Monet mogok kembali. Motor
metik butut itu ngadat kembali dan aku benci hingga kutinggalkan dia di
kontrakan Amu. Sayangnya si sahabatku
itu tak satu frekuensi dengan gayaku.
Amu mana bisa pake motor, jadi percuma
kalo minta dia mengantarkanku pulang, mungkin dia cuma bakalan cengo atau opsi
yang lainnya dia hanya akan menyuruhku menginap.
Jadi, begitulah.
Aku lebih memilih pulang naik bus dari pada tidak sama sekali. Kalau
saja bukan karena teringat tugas sekolah yang harus segera kuselesaikan. Mungkin lebih baik kuturuti saja saran Amu. Alhasil,
disinilah aku sekarang. Duduk manis di
kursi panjang menunggu bus mengantarkanku pada terminal berikutnya.
Sebanyak batinku mengoceh tanpa
berhenti, sebanyak itu pula mataku tak
bisa berhenti untuk memandangi dia juga. Aku sangat benci berfikir meski otakku
tak berhenti melakukan itu saat ini.
Wanita serba hitam itu sekarang satu bus denganku. Kita bahkan mendapat tempat duduk yang hanya
terpisah beberapa senti saja dalam satu baris.
Jadi siapa dia?
Si penasaran
ini benar-benar tak berhenti mengumbar pertanyaan. Bagaimana tidak kalo selama hampir setiap
pertandingan sepak bola dia selalu hadir dengan menyeret muka datarnya ikut
serta. Siapa yang tak jadi penasaran
jika si perempuan ini sering muncul dengan serba hitam sebagai pakaiannya. Bagaimana itu jadi tidak mengherankan? Bagaimna itu tidak menjadi penasaran?
"Berhenti menatapku. Apa kau
kekurangan belajar di kelas tatakrama?!" Nadanya datar. Tak terdapat emosi
dalam setiap kata-katanya. Tapi, itu sudah cukup berhasil membuatku kalang
kabut sebab tertangkap basah memperhatikannya.
"Kukira kau tertidur," cicitku
tiba-tiba menjawab pelan. Dalam beberapa
kesempatan. Aku bisa jadi menjadi apa
saja saat gugup melanda. Maksudku, oh ayolah.
Ini benar-benar memalukan saat kau tiba-tiba tersadar dirimu memindai
orang asing yang tengah bersandar menutup mata di kusen-kusen bus. Dan orang itu menyadarinya, dan kau terciduk, dan kau jadi malu, dan apa yang harus aku lakukan selanjutnya
sekarang.
Apa yang harus aku lakukan? Eh, memangnya
apa yang kuperbuat? Ini hanya ketidak sengajaan yang mungkin sebenarnya tidak
juga. Tapi ini_ "Tck, sudahlah tak
masalah, kau tak perlu merangkai
kata-kata untuk meminta maaf." Wanita itu menyela, menyela?
Kurasa dia berujar dengan kepedean.
Karena siapa juga yang sempat memikirkan kata maaf. Tapi, oke.
Mengikuti kamus tatakrama dan sopan santun sepertinya lebih kepada
diriku yang kurang sopan disini.
Dan tanpa aba-aba tiba-tiba wanita itu
menggeliat. Menegakkan pungkurnya sebelum bulu mata lentik itu tertarik keatas
menampilkan kelereng hitam mengarah padaku.
"Mata kamu kenapa terus-terusan
memandangku, sih. Lihat di balik kaca sebelah sana, ada pemandangan yang lebih tidak membosankan
dari pada kau kurang kerjaan memandangi orang asing yang sedang tidur."
ujarnya lagi sambil tangannya menunjuk jendela bus bagian kiriku. Aku mengikuti
arah tangannya sekilas sebelum kulihat dia menyenderkan kepalanya kembali
setelah membenturkan punggungnya pada sandaran kursi.
"Aku sering melihatmu datang ke
stadion, kau pecinta bola, yah?" Entah datang keberanian dari mana aku
sampai-sampai bertanya ceplos seperti itu.
Tapi biarlah begitu daripada diriku memelihara penasaran. Satu
detik, dua detik, dia tak ada tanda-tanda akan jawabi. Aku juga
tak berharap banyak untuk itu, tapi di
detik berikutnya tiba-tiba mulut dia terbuka seraya berkata, "Kenapa aku harus cinta benda bulat dua
warna seperti itu?" herannya. Yang
malah membuatku makin heran adalah saat dia melanjutkan, "Aku juga tak tertarik dengan mereka
yang merebutkan satu bola. Mereka seperti anak ayam," ucapnya lagi,
datar. Aku tak paham. Aku juga mencoba untuk tak mengerti dan
kulakukan itu berkali-kali.
"Terus, kenapa kau pergi kesana?" ucapku makin
heran yang membuat wanita itu tak repot-repot menjawab enteng.
"Karena disana ramai."
Aku tak memberi tanggapan apapun. Wanita itu hanya ingin sebuah keramaian
dengan mengikuti kerumunan? Yah, aku malah makin tak paham dengannya.
"Lagian temanku ada di sana,"
lanjutnya tiba-tiba. Tapi aku hanya
mengerinyit bingung seolah tak percaya padanya.
"Masa. Kulihat kau duduk sendiri. Dan satu lagi, aku tahu setiap pemain bola yang kau tonton
bukan tim yang sama. Kau datang ke sana menonton pertandingan siapa saja,"
kataku. Yah, karena aku telah
membuktikannya beberapa waktu. Saat itu juga aku tersadar akan ucapanku setelah
si wanita langsung memasang ekspresi menyelidik padaku. "Oke, aku
mengerti. Aku benar-benar minta maaf
untuk itu. Bukan berarti aku jadi stalker mu. Tapi memangnya siapa suruh buat orang
penasaran dengan baju serba hitammu datang ke pertandingan," paparku. Ini jelas di luar konteks, sebab sebenarnya aku mulai tertarik pada
perempuan ini.
Si wanita hanya diam saja. Matanya bergulir mengarah ke luar jendela
seraya melanjutkan, "Sebenarnya temanku itu memang tidak ada_"
Tuh
'kan aku sudah menebaknya pasti seperti itu, aku membatin sendiri untuk ini.
lantas dimana sebenarnya temanny_
"Dia sudah mati,"
lanjutnya, dan itu sontak membuat
monologku berhenti berkata. Dadaku
tiba-tiba berhenti bekerja beberapa sekon.
"Aku turut berduka cita,"
sambungku turut berbela sungkawa.
Wanita itu bergumam saja. Selanjutnya dia
menghela nafas panjang, menarik nafas dalam menetralkan dirinya yang mungkin
mulai teringat sang teman.
"Tak masalah. Lagian itu kejadian lama,” katanya.
Tapi aku tiba-tiba merasakan ikut
sakit. Sakit yang entah kenapa begitu
menghimpit. "Apa temanmu mati saat bermain sepak bola?" tebakku malah
makin penasaran.
Ada sedikit tarikan bibir yang tiba-tiba
terbit di wajah perempuan itu. Lalu
selanjutnya, si wanita menggeleng sambil
menjawab, "Bukan. Dia radang
paru-paru."
Selanjutnya hening kembali. Untuk beberapa waktu, aku bisa melihat kesedihan yang wanita ini
simpan tanpa susah-susah ia tutupi. Kepalanya menunduk dan tiba-tiba suasananya
menjadi muram.
"Seharusnya waktu itu aku
menontonnya," sesalnya. Wanita itu
bercicit kembali yang membuatku refleks bertanya 'apa' sebab suaranya yang
kelewat kecil. "Seharusnya aku
menontonnya dan memukul orang yang telah menendang bola di paru-paru
adikku."
Suhu di dalam mobil ini tiba-tiba
meningkat dan aku tak tahu reaksi bagaimana yang harus keluar di balik
wajahku, daksaku tremor dan aku tak
membutuhkan tanya saat perempuan ini terus melanjutkan perkataannya.
"Seharusnya Naru tak perlu mendapat
perlakuan seperti itu dari hobinya."
Ada sesuatu di dalam diriku yang menyulut
api. Seolah memanas dan sebagian lagi
mengendap sampai keringat dingin mulai keluar dari epidermisku. Tiba-tiba semuanya seolah kembali pada waktu
diriku sepak bola. Tertawa bersama
teman-teman satu timku dan Amu, setelah
itu semuanya melebur saat kutendang bola dan tak sengaja mengenai dada salah
seorang lawan. Semuanya tersadar, bibirku tercekat, tenggorokanku tiba-tiba kering saat teringat
nama punggung si korban merupakan nama si adik yang telah di sebutkan wanita
ini tadi. Dan semuanya makin tremor
sebab sadar bahwa orang yang menangis di hadapanku ini merupakan kakak dari
korban yang tersanggkanya adalah
aku
sendiri.

Komentar
Posting Komentar
Anda dapat berkomentar apapun