SOMERSAULT
Pria itu mencungkil-cungkil kuku telunjuknya menggunakan
jempol. Raut wajahnya amat sangat tenang. Kedipan matanya bergerak standar
dengan normal. Tapi tidak untuk jantungnya yang berdebar serta otaknya yang
kembali diputar.
Sialan! Ucap pria itu membatin. Setelahnya hening
tanpa ada percakapan lanjutan.
Semua orang pasti akan menyadari helaan nafas pria itu yang berat
sedikit tertahan_andai saja mereka benar-benar memperhatikan_ tapi bodoh
saja, siapa yang mau mendengar nafasnya? Bahkan dirinya sendiripun enggan hanya
untuk memperhatikan dadanya yang sedikit berdebar-debar setelah dia menelan cairan
kafein sebagai sarapan.
Meski memang, dia benar-benar tak bersahabat betul dengan
air hitam itu. Tapi apalah daya saat sakunya bahkan tak sanggup berdiri di toko
untuk sebuah mie instan. Miris.
Kakinya kembali digerakan hanya untuk melangkah tak tentu
arah. Untungnya ini hari liburnya dari kerja pabrik. Meskipun sungguh masih
memeiliki beberapa lembar uang dari hasil sisa gajinya bulan lalu. Tapi tak
mungkin ia gunakan. Tak akan pernah ia gunakan saat teringat dirinya masih
harus mengakhiri hutang judi sang ayah, ayah tiri tepatnya.
Ah, sebenarnya ia tak sebaik itu untuk mau-mau saja
menanggung.
Laki-laki itu berhenti sejenak. Di atas trotoar. Tak
melanjutkan langkahnya beberapa detik sebelum memori itu datang. Lintasan sang
ibu benar-benar terkapar di atas kasur tanpa nafas. Diam-diam ia memiliki
penyakit jantung yang tak diketahui siapapun bahkan ayah barunya yang dinikahi beberapa
bulan sebelumnya. Taehyung kira ibunya akan bahagia saat menemukan seseorang
yang tepat untuk mereka. Yang bisa menyetir dengan baik rumah tangga semakmur
mungkin sampai hidup mereka bisa dikatakna lengkap dan bahagia.
Tapi memangnya siapa yang mau memiliki nasib buruk menimpa hidupnya?
Bahkan dalam mimpi pun tidak. Ia sadar ini bukan kemauannya. Tapi tetap saja
kadang ia menjadi manusia tak tahu diri setelah beberapa kali tersirat marah
pada yang membuat alurnya.
Ia marah akan banyak hal. Merasa kesal juga sendirian. Sebab
siapa yang mau membantu lagi meringankan bebannya. Ayah tirinya jelas-jelas
sudah terkubur di dalam tanah menyusul sang ibu. Menjadi seonggok tengkorang
menyatu dengan rumput buatan yang sengaja ditata dengan rapih di sekitar
nisannya. Meskipun ia memaki dan meneriaki sang ayah untuk membayar utangnya
sendiri. Mana mungkin pria itu mampu. Sebab Taehyung bukanlah orang terpilih
yang dianugrahi mujizat bisa membangkitkan orang mati.
Atau pria itu kadang diam-diam membayangkan dirinya mampu
menjadi tokoh legendra. Seperti Sidi Mantra yang bersemedi dapat mendapat harta
sebagai hadiah, misalnya. Secara metapora mampu memisahkan Pulau Jawa dan Pulau
Bali hanya dengan menancapkan tongkat. Andai ia memiliki tongkat yang sama,
memiliki genta untuk memanggil naga Besukih memintanya sedikit harta untuk
melunasi hutang si Manik yang tak henti-hentinya main sabung ayam.
Yah, meskipun kalau di pikir-pikir cerita itu yang hampir
mirip dengan dirinya menjadikan sang ayah selaku Manik Angkeran sendiri. Pembedanya
hanya sang ayah tak mati terbakar dan hidup lagi setelah berjanji dan menjadi
pengabdi gunung Agung. Tak ada pusaka sakti, tak ada kekuatan gaib, tak ada
naga. Atau air yang akhirnya memisahkan semua beban ayahnya pada sang anak
menjadi ringan. Otaknya kadang memang
serandom itu untuk berharap bisa membersihkan jejak-jejak bapak itu dari lingkungan
hidupnya. Tapi tentu saja ia disadarkan kembali setelah mencapai pintu rumah.
Tidak dengan hutan hijau dan pohon-pohon besar menjuang tingi. Tidak juga
dengan kerajaan Daha yang berdiri kokoh di depannya. Hanya ada sebuah rumah. Yang
termodif dengan rapih, rumput pendek yang terhampar di depanya. Disusul sinar
rumah yang meninggalkan kemilau kuning keemasan. Suara bising memang tak
terdengar cukup jelas disini. Hanya sayup-sayup angin yang mengelus leher dan
tangannya yang tak sanggup hoodienya tutupi.
Ini memang selalu menjadi jalan-jalan solon Taehyung meski
ia tahu sang kakak tiri pasti masih duduk di ruang sana. Terbukti dari lampu
yang belum padam meski jam sudah menunjukan pukul sepuluh malam. Ah, Taehyung
jadi terkesiap sendiri setelah membuka pintu.
Kakak tirinya duduk masih dengan layar menyala. Tangannya
tak henti-henti menggoresi benda lain di bawahnya. Meski tangan sibuk mencoret-coret
benda kotak dengan titik-titik persegi tersusun di atasnya. Mata caramel itu
masih setia memandangi layar laptopn sendiri. Titik fokusnya masih pada sinar
lcd itu meskipun jemarinya tetap cekatann mencengkram pensil elektronik yang
menjadi dasarnya.
Begitu sunyi, begitu sepi. Seperti kehidupan hanya berasal
dari jarum jam saja yang tetap bekerja sesuai fungsi, ouh dan mungkin
gerusan-gerusan yang dihasilkan pena elektronik yang bersibobrok pada papan
gambar. Kakaknya terlalu focus, bahkan sampai tak menyadari Taehyung yang sudah
berdiri di belakannya. Atau memang, untuk apa pria itu mengharapkan saang kakak
menoleh hanya karena deritan pintu yang di dorongnya.
“Belum tidur, Rin?” ucap Taehyung setelahnya.
Yah, sebelum pria itu menepuk bahu sang kakak sampai menoleh,
tentu saja. Sabrina melempar seyum setelahnya. Menggeleng pelan sebelum memulai
lagi pekerjaan saat sang adik titi menarik kursi dan ikutan duduk pada
akhirnya.
“Aku masih harus menyelesaikan tugas malam ini.” Sabrina
melanjutkan dengan ucapan dan gestur tubuh. Meski Taehyung tak benar-benar
memperhatikan setiap kata yang diperagakan sang kakak. Tapi setidaknya pria itu
mampu memahami maksudnya. Lantunan suaranya masih sayup-sayup terdengar meski
yang jelas hanya kata akhirnya saja.
Sebelum kesunyian benar-benar merayapi mereka, sang kakak
perempuan sudah lebih dulu melanjutkan perkataan, "Dari mana?”
Setiap kata akhirnya berbunyi nyaring di telinga Taehyung. Sabrina
menunggu jawaban darinya sedangkan laki-laki itu hanya diam sebelum merogoh
saku celana menampilkan benda kotak yang temperglasnya sudah hancur, ponselnya
mati mengenaskan sejak ia memabanting benda itu kemarin malam. Dengan suara
lelah Taehyung yang bibirnya sedikit manyun menjawab singakat, “Konter.”
Taehyung tak perlu banyak gestur, sebab bahkan meski memiliki
saudara yang mengalami tuna rungu. Pria itu memang tak sanggup bila harus
belajar Bahasa isyarat. Selain minimnya pengetahuan tentang ketunaan. Ia juga
tak punya banyak waktu hanya untuk menerjemahkan deretan gestur yang di berikan
sang kakak.
Ingatkan sekali lagi bahwa pria itu bahkan pernah berpikir
meninggalkan sang kakak menjadi perek. Saking frustasiya akan semua tekanan
yang ada. Hidupnya, keluarganya, ekonominya. Bahkan ia mengumpat berkali-kali
saat seseorang menggedor paksa pintu rumahnya hanya untuk menemui anak-anak
yang harus bertanggung jawab dengan hutang yang ditinggalkan sang ayah.
Jarak antara dia dan perempuan itu hanya bebrapa bulan saja.
Makanya Taehyung tak pernah memanggilnya kakak meski mungkin tak dipenulikan
juga oleh perempuan itu. Tapi Taehyung juga menyadari sesuatu. Mereka masih
harus menyelesaikan semester akhirnya saat itu. Meski Taehyung benar-benar bisa
menyelesaikan sekolahnya begitupun sang kakak. Ia juga tahu, Sabrina tetap tak
memiliki andil besar yang akan meningkatkan ekonominya. Dan betapa sialannya
setiap kali teringat bahkan itu hanya satu setengah tahun setelah orang tuanya menikah. Setelah itu
badai besar menimpa. Pundaknya terasa berat sampai ia tak benar-benar bisa
berdiri tegak. Puncaknya saat Taehyung memiliki banyak pekerjaan untuk ia
tempati di beberapa sudut kota. Hingga tak menyadari bahwa sang kakak juga ikut
andil membantunya. Membuat apapun yang bisa ia manfaatkan. Memasak sesuatu, membuat
beberapa kerajinan tangan. Meski tak sedikit dari mereka yang malah membuang
muka dan mengabaikannya.
Tapi Taehyung juga sadar seberapa keras sang kakak berbuat,
tetap saja menurutnya itu tak seberapa di banding dirinya.
Kadang Taehyung juga benci menjadi laki-laki yang harus
menanggung lebih berat beban dari pada sang kakak. Dan mungkin itu juga yang
membuat Taehyung naik pitam pada akhirnya. Di suatu malam. Membentak sang kakak
yang sedang mengerjakan sesuatu dengan kain dan jarum rajutnya membentuk
sesuatu. Tapi daripada memperhatikan gantungan kunci dan beberapa aksesoris
imut-imut yang dibuat kakanya, Taehyung memilih menuruti egonya. Merebut semua
hasil karya kakaknya dan berucap dengan gestur dan kosa kata yang terbatas
untuk memberi tahu kakaknya tak perlu melakukan hal itu. Tak perlu membuat
sesuatu semacam barang yang bisa di perjual belikan yang malah berpotensi lebih
banyak lagi penolakan di luar sana.
Taehyung tahu ia dan kakak tirinnya tak pernah berbincang
dengan baik. Bahkan setelah orang tua mereka akhirnya mengikat janji. Sumpah
demi apapun Taehyung bahkan tak menganggap kakaknya begitu lemah sampai harus
berdiam diri di rumah. Tidak. Bahkan Taehyung tahu kakaknya ini perempuan
tunarungu mandiri yang bahkan mampu pergi ke sekolah khususnya tanpa bantuan
siapapun. Bahkan ibunya yang baik hati. Atau ayah tirinya yang gemar berjudi. Tapi
ia juga tak tahan mendapat tatapan iba dari orang-orang sekitarnya. Atau bahkan
beberapa bujang tolol mesum yang menyeringai dan bersiul ketika kakaknya
menunduk permisi melewati mereka. Taehyung tak sebaik itu untuk langsung
menghajar pria-pria berengsek untuk Sabrina sebab secara tersirat menghina
keluarga bobrokkya. Tapi ia juga tak sejahat itu membiarkan sang kakak
melakukan apapun yang tak ia ketahui.
Diam-diam memang Taehyung mengawasi sang kakak meski tak sering. Setidaknya
status kekeluargaanlah yang menjadi alasan ia bertindak sejauh itu.
Hingga setelah beberapa makian dan ujaranan kebencian, pria
itu juga sempat meneriaki kakaknya dengan berkata, “Ini semua karena dirimu!
Karena ayahmu! Karena kalian berdua datang dalam hidupku dan merusak segalanya!
”
Penerimaan takdir yang tak ia harapkan adalah puncaknya.
Taehyung tahu sang kakak sulit berbicara. Tapi diamnya juga menyiratkan segala
hal. Tak sama seperti malam-malam yang seringnya mereka perdebatan dengan sang
kakak yang tetap keras kelapa. Dengan sorot mata tajam mengintimidasinya.
Taehyung tak mendapatkan itu. Seolah wanita itu mengerti dirinya kali ini. Dan
pria itu kaku, seketika rasa bersalah menggerayangi tubuhya.
“Nah, bagaimana Tae. Kau setuju?”
Itu terakhir kali yang Taehyung ingat saat tiba-tiba di pagi
hari seseorang datang menemuinya. Dengan memperhatikan baju orang itu Taehyung langsung menyadari
bahwa orang di hadapannya adalah guru sekolah khusus kakaknya. Dan dia
menemukan banyak hal baru, terlebih kondisi sang kakak yang ia ketahui bahwa
masih ada sisa-sisa pendengaran di gendang telinganya. Bahkan pak guru memberi
tahu dirinya seberapa jauh kakaknya mendengar suaranya. Jadi selama ini sang
kakak memang tak total. Taehyung kira, Sabrina akan tak mengerti meski taehyung
memaki. Maka dari itu, setelah banyaknya pemikiran dan beberapa bayangan buruk saat
Taehyung memperlakukan kakaknya. Akhirnya Taehyung mengijinkan juga sang kakak
ikut lomba di damping pak guru Nam sebagai wakil keluarga.
Dan siapa sangka perempuan itu dapat beasisiwa masuk
perguruan tinggi?
Taehyung menyadari satu hal pada akhirnya. Bahwa yah, ia
sempat memikirkan keluarganya yang menyedikan. Ekonomi mepet dan finansialnya
tak bisa di katakana baik. Tapi untungnya cukup. Lagian ia baru menyadari
hal-hal yang lainnya. Anak yatim piatu tak hanya mereka di dunia ini. Banyak kok
yang lainnya. Dan itu tentu saja bukan alasan harus terpuruk dalam luka dan
kebencian.
Bunyi tabrakan meja dan mangkok sekali lagi menguar. Sabrina
menambah satu sinduk sup pada Taenyung. Pria itu hanya menerima dengan
mengangguka kepala. Mulutnya fokus mengunyah sedangkan tangannya sesekali
memberi satu penilaian like untuk saudara tirinya.
Masakan Sabrina memang Taehyung akui tak pernah gagal.
Taehyung juga tak percaya setelah dua bulan ini ia masih akan merasakan makanan
itu atau tidak. Huh, Taehyung jadi teringat satu bulan lalu sebuah keluarga
meminta persetujuannya mempersuntung sang kakak.
Namanya Jimin. Empat tahun di atasnya. Dan Taehyung tahu
sorot mata Sabrina dan calon Kakak iparnya begitu kentara. Sampai Taehyung
hanya bisa berdoa dalam hati agar mereka bisa benar-benar menjaga satu sama
lain dengan sukacita.
FIN

Komentar
Posting Komentar
Anda dapat berkomentar apapun