When I'm Awake [1]
Perempuan itu tahu bahwa dirinya bukan orang yang
baik. Bukan orang yang terbaik yang mampu
menjalani kehidupan. Dirinya tahu tak ada hidup yang sempurna, seindah,
dan semulus kertas yang baru saja di keluarkan dari paknya.
Dia tahu. Kelewat paham malah.
Tapi dari sekian babak yang dia terima dalam
kehidupannya, bolehkah perempuan itu meminta. Hanya meminta satu pada Tuhan
yang masih ia percayai.
Tolong
jangan renggut keluarganya.
Tolong jangan mengambil satu-satu saudara
yang dimilikinya.
Hera tahu, dalam beberapa hal. Harusnya ia masih bisa
menangani ini dengan baik.
Jangan menyerah.
Jangan kalah.
Jangan berniat pergi
Sebelum Tuhan yang memang memanggilnya begitu.
Dirinya hanya merasa tidak pantas. Dirinya merasa
tidak pantas untuk seperti itu.
Lampu kenadaraan berkelap-kelip berpacu dengan cepat.
Ia masih setia berdiri di depan tirotoar menunggu jalanan memberinya akses
menyebrang. Atau memang tak seperti itu. Yang dia lihat hanya lampu yang
menyoroti tubuhnya, mengaburkan kerja matahnya, hingga ia tak sadar tubuhnya
terpental dan menyatu dengan jalan aspal. Bau karat besi menyeruak masuk
memenuhi penciuman dan Hera hanya sanggup menyaksikan darahnya di bawa air hujan yang mengalir di sekeliling
tubuh seakan berkata, “Sini, biar kuhangatkan tubuhmu yang dingin.”
…
“DI MANA? AKU TANYA DI MANA KAU MENYEMBUNYIKANNYA?!”
“Diam, Hiccap. Aku pusing, sungguh.” Perempuan itu
berucap sedikit tercekat. Apa yang dia katakana memang benar adanya. Malam ini
dia hanya ingin tidur. Hanya itu yang dia butuhkan.
Tapi sepertinya niat itu harus tertunda. Sesaat
setelah membuka flat dan mendapati seluruh isinya berantakan. Hera sudah
menduga ini, hanya ia tak mengira saja, kenapa harus hari ini?
Perempuan itu berjalan gontai, menyingkirkan barang
yang menghalangi jalannya menggunakan kaki. Berusaha mengabaikan tatapan sang
adik yang sengit meskipun tak
benar-benar bisa ia hiraukan. Wanita itu hanya butuh berbaring sebentar.
Sungguh, kepalanya sakit dan tenaganya habis ia pakai untuk bekerja. Tapi
adiknya berdiri memblokade jalan sampai Hera tak jadi memasuki kamarnya.
“Kau tak tuli, aku hanya memintamu mengatakan dimana
barangnya, Hera!” Lelaki itu berteriak lagi, meski intonasinya tak setinggi yang
pertama. Hera begitu yakin kalau adiknya benar-benar sudah putus asa mencari
barangnya. Meski wanita itu juga tak goyah meski di tatap setajam belati
seperti itu pun.
Hiccap, adiknya itu hanya belum memahami. Adiknya itu
masih kecil. Emosinya masih belum stabil untuk dirinya kendalikan sendiri.
Hingga tanpa perempuan itu sadari, badannya sudah berbalik melindungi pukulan
sang adik. Meski tetap ia mendapatinya dengan telak kepalan tangan.
Hera tahu adiknya marah. Wanita itu paham, namun
kekerasan fisik seperti ini tetap saja mengejutkannya. Meski ia tak memungkiri
bahwa ini tak masalah. Ia tahu adiknya butuh pelampiasan. Dan api yang berkobar
di dalam mata sang adik serta merta ia hiraukan. Sakit yang menyerang tulang
belikat perempuan itu biarkan meski ia punya taktik untuk menghindar. Takewondoo mengajarkan
itu padanya, tapi Hera tak berniat melakukannya sebab tahu ia tak bisa
menggunakannya. Tak benar-benar bisa menggunakan apapun kala otaknya memdadak
buntu dan malfungsi saat teriakan itu terus di layangkan sang adik untuknya.
“SIALAN KAU! SEMUA INI KARENAMU, SEMUA INI SALAHMU.
IBU MATI KARENAMU. IBU MENINGGALKANKU KARENAMU, HERA!”
Ia tak menangis. Perempuan itu hanya terduduk lemas sesaat
setelah menuntup pintu kamar.
Hiccup pergi, meningggalkan kemarahan dan kebencian
yang tersirat lewat matanya. Hera hanya diam. Kabut di pelupuk mata siap siaga
menumpahkan isi. Tapi sebelum itu benar-benar terjadi, tanggannya keburu
cekatan menekan kelopak mata. Jari telunjuk dan tengah menjalankan tugasnya
menahan lelehan sialan itu agar tak terjatuh.
Kepalanya makin pusing, perutnya melilit seakan
seseorang telah memelintir isinya. Pungkur apa lagi, bahkan ia tak sanggup
menempelkannya di pintu sebab rasa nyilu benar-benar menahanya.
Jangan. Ayolah jangan seperti ini!
Aku tahu.
Bangun. Kau harus bangun, sialan!
Kepalanya penuh di isi suara yang bersautan sana-sini.
Menyuruhnya pergi. Menyangkalnya. Membuatnya berat serasa bongkahan batu besar
dilemparkan khusus untuk merusak otaknya.
Tapi dari sekian banyak bunyi. Kewarasan merongrong
hatinya yang kemelut. Ia bangkit. Meski dandanya sulit menghirup udara, sesak. Memandang seseorang di cermin yang tersenyum mengejek, penuh penghinaan.
“Hah, lihatlah dirimu. Masih kuat bertahan juga?”
Hera dapat menyaksikan seseorang itu berkata sembari
mendengus. Seakan ia lelah melihat Hera selalu menghampirinya.
Perempuan itu sadar yang di depan itu adalah dirinya.
Wanita kumal dengan rambut acak-acakan. Mata merah yang sembab. Dua bola mata
itu selayaknya tutup botol. Wajahnya berminyak dan apa lagi yang bisa dia
lihat selain rautnya yang menyedihkan di baluri dosa-dosa yang tak tertahankan.
“Hera kau tak bisa seperti ini terus. Jangan paksakan
dirimu!”
Lagi, perempuan di depannya itu berkata meyakinkan. Ia
pernah bercerita ada dunia yang lebih baik dari pada ini. Dunia yang tak akan
membuat Hera sakit lagi. Dunia yang tak
akan membuatnya menderita. Dunia baru yang indah. Perempuan cermin itu juga berjanji
padanya bahwa di sana ia hanya akan di manjakan dan di istimewakan. Tak akan
ada air mata yang mengalir oleh kesedihanya. Ia berjanji dan Hera tetap kearas
kepala.
Alih-alih mendengarkan penuturan itu, yang ia lakukan
malah bergerak membuka kaos besarnya. Berbalik sedikit untuk memeriksa tulang
belikatnya yang serasa patah. Namun yang ia dapati jauh dari ekspetasi. Ia
pikir itu akan membiru atau setidaknya meningagalkan bekas merah akibat
rongga-rongga jari sang adik. Tapi tidak, tidak ada yang seperti itu. Kulitnya
baik-baik saja seski yang ia rasakan
malah sebaliknya.
Wanita itu menghela nafas sebelum membanting tubuhnya
di atas ranjang. Sempat lupa bahwa ia terluka dan akibatnya ia meringis dan
terjengkat sebab ulahnya sendiri.
Merebahkan kembali tubuh dengan hati-hati sebelum
memandang langit-langit kamarnya dengan lengan yang menyentuh dahi, gusar.
Hawa dingin membuat perutnya seakan di tusuk lewat
udara. Tapi Hera membairkannya. Membiarkan tubuh bagian atasnya di gulung angin
yang hanya tertutup bra. Menatap nun jauh di sana. Mengabaikan wanita cermin
memeolototinya sebab lagi-lagi tak dia indahkan.
Hera hanya diam, tak berniat berfikir meski
suara-suara di dalam kepalanya semakin penuh dengan kalimat-kalimat ajakan yang
dirinya abaikan.
Tbc

Komentar
Posting Komentar
Anda dapat berkomentar apapun