When I'm Awake [1]

 PERINGATAN!

Sebagian besar tulisan ini menggambarkan penyakit mental dan masalah psikologis seperti depresi, melukai diri sendiri, sabotase diri, mencela diri sendiri,  gangguan kecemasan, termasuk gangguan panik, gangguan obsesif-kompulsif, dan fobia. ; gangguan mood; penggunaan narkoba; serta kekerasan, pelecehan emosional/fisik/verbal.  Jika anda rentan terhadap topik ini, jangan lanjutkan. Diharapkan pembaca dapat bijak memilih bacaan.





Perempuan itu tahu bahwa dirinya bukan orang yang baik. Bukan orang yang terbaik yang mampu  menjalani kehidupan. Dirinya tahu tak ada hidup yang sempurna, seindah, dan semulus kertas yang baru saja di keluarkan dari paknya.

Dia tahu. Kelewat paham malah.

Tapi dari sekian babak yang dia terima dalam kehidupannya, bolehkah perempuan itu meminta. Hanya meminta satu pada Tuhan yang masih ia percayai.

 Tolong jangan renggut keluarganya.

Tolong jangan mengambil satu-satu saudara yang dimilikinya.

Hera tahu, dalam beberapa hal. Harusnya ia masih bisa menangani ini dengan baik.

Jangan menyerah.

Jangan kalah.

Jangan berniat pergi

Sebelum Tuhan yang memang memanggilnya begitu.

Dirinya hanya merasa tidak pantas. Dirinya merasa tidak pantas untuk seperti itu.

Lampu kenadaraan berkelap-kelip berpacu dengan cepat. Ia masih setia berdiri di depan tirotoar menunggu jalanan memberinya akses menyebrang. Atau memang tak seperti itu. Yang dia lihat hanya lampu yang menyoroti tubuhnya, mengaburkan kerja matahnya, hingga ia tak sadar tubuhnya terpental dan menyatu dengan jalan aspal. Bau karat besi menyeruak masuk memenuhi penciuman dan Hera hanya sanggup menyaksikan darahnya  di bawa air hujan yang mengalir di sekeliling tubuh seakan berkata, “Sini, biar kuhangatkan tubuhmu yang dingin.”

 

 

 

 

“DI MANA? AKU TANYA DI MANA KAU MENYEMBUNYIKANNYA?!”

“Diam, Hiccap. Aku pusing, sungguh.” Perempuan itu berucap sedikit tercekat. Apa yang dia katakana memang benar adanya. Malam ini dia hanya ingin tidur. Hanya itu yang dia butuhkan.

Tapi sepertinya niat itu harus tertunda. Sesaat setelah membuka flat dan mendapati seluruh isinya berantakan. Hera sudah menduga ini, hanya ia tak mengira saja, kenapa harus hari ini?

Perempuan itu berjalan gontai, menyingkirkan barang yang menghalangi jalannya menggunakan kaki. Berusaha mengabaikan tatapan sang adik  yang sengit meskipun tak benar-benar bisa ia hiraukan. Wanita itu hanya butuh berbaring sebentar. Sungguh, kepalanya sakit dan tenaganya habis ia pakai untuk bekerja. Tapi adiknya berdiri memblokade jalan sampai Hera tak jadi memasuki kamarnya.

“Kau tak tuli, aku hanya memintamu mengatakan dimana barangnya, Hera!” Lelaki itu berteriak lagi, meski intonasinya tak setinggi yang pertama. Hera begitu yakin kalau adiknya benar-benar sudah putus asa mencari barangnya. Meski wanita itu juga tak goyah meski di tatap setajam belati seperti itu pun.

Hiccap, adiknya itu hanya belum memahami. Adiknya itu masih kecil. Emosinya masih belum stabil untuk dirinya kendalikan sendiri. Hingga tanpa perempuan itu sadari, badannya sudah berbalik melindungi pukulan sang adik. Meski tetap ia mendapatinya dengan telak kepalan tangan.

Hera tahu adiknya marah. Wanita itu paham, namun kekerasan fisik seperti ini tetap saja mengejutkannya. Meski ia tak memungkiri bahwa ini tak masalah. Ia tahu adiknya butuh pelampiasan. Dan api yang berkobar di dalam mata sang adik serta merta ia hiraukan. Sakit yang menyerang tulang belikat perempuan itu  biarkan meski ia punya taktik untuk menghindar. Takewondoo mengajarkan itu padanya, tapi Hera tak berniat melakukannya sebab tahu ia tak bisa menggunakannya. Tak benar-benar bisa menggunakan apapun kala otaknya memdadak buntu dan malfungsi saat teriakan itu terus di layangkan sang adik untuknya.

“SIALAN KAU! SEMUA INI KARENAMU, SEMUA INI SALAHMU. IBU MATI KARENAMU. IBU MENINGGALKANKU KARENAMU, HERA!”

Ia tak menangis. Perempuan itu hanya terduduk lemas sesaat setelah menuntup pintu kamar.

Hiccup pergi, meningggalkan kemarahan dan kebencian yang tersirat lewat matanya. Hera hanya diam. Kabut di pelupuk mata siap siaga menumpahkan isi. Tapi sebelum itu benar-benar terjadi, tanggannya keburu cekatan menekan kelopak mata. Jari telunjuk dan tengah menjalankan tugasnya menahan lelehan sialan itu agar tak terjatuh.

Kepalanya makin pusing, perutnya melilit seakan seseorang telah memelintir isinya. Pungkur apa lagi, bahkan ia tak sanggup menempelkannya di pintu sebab rasa nyilu benar-benar menahanya.

Jangan. Ayolah jangan seperti ini!

Aku tahu.

Bangun. Kau harus bangun, sialan!

Kepalanya penuh di isi suara yang bersautan sana-sini. Menyuruhnya pergi. Menyangkalnya. Membuatnya berat serasa bongkahan batu besar dilemparkan khusus untuk merusak otaknya.

Tapi dari sekian banyak bunyi. Kewarasan merongrong hatinya yang kemelut. Ia bangkit. Meski dandanya sulit menghirup udara, sesak. Memandang seseorang di cermin yang tersenyum mengejek, penuh penghinaan.

“Hah, lihatlah dirimu. Masih kuat bertahan juga?”

Hera dapat menyaksikan seseorang itu berkata sembari mendengus. Seakan ia lelah melihat Hera selalu menghampirinya.

Perempuan itu sadar yang di depan itu adalah dirinya. Wanita kumal dengan rambut acak-acakan. Mata merah yang sembab. Dua bola mata itu selayaknya tutup botol. Wajahnya berminyak dan apa lagi yang bisa dia lihat selain rautnya yang menyedihkan di baluri dosa-dosa yang tak tertahankan.

“Hera kau tak bisa seperti ini terus. Jangan paksakan dirimu!”

Lagi, perempuan di depannya itu berkata meyakinkan. Ia pernah bercerita ada dunia yang lebih baik dari pada ini. Dunia yang tak akan membuat Hera  sakit lagi. Dunia yang tak akan membuatnya menderita. Dunia baru yang indah. Perempuan cermin itu juga berjanji padanya bahwa di sana ia hanya akan di manjakan dan di istimewakan. Tak akan ada air mata yang mengalir oleh kesedihanya. Ia berjanji dan Hera tetap kearas kepala.

Alih-alih mendengarkan penuturan itu, yang ia lakukan malah bergerak membuka kaos besarnya. Berbalik sedikit untuk memeriksa tulang belikatnya yang serasa patah. Namun yang ia dapati jauh dari ekspetasi. Ia pikir itu akan membiru atau setidaknya meningagalkan bekas merah akibat rongga-rongga jari sang adik. Tapi tidak, tidak ada yang seperti itu. Kulitnya baik-baik saja  seski yang ia rasakan malah sebaliknya.

Wanita itu menghela nafas sebelum membanting tubuhnya di atas ranjang. Sempat lupa bahwa ia terluka dan akibatnya ia meringis dan terjengkat sebab ulahnya sendiri.

Merebahkan kembali tubuh dengan hati-hati sebelum memandang langit-langit kamarnya dengan lengan yang menyentuh dahi, gusar.

Hawa dingin membuat perutnya seakan di tusuk lewat udara. Tapi Hera membairkannya. Membiarkan tubuh bagian atasnya di gulung angin yang hanya tertutup bra. Menatap nun jauh di sana. Mengabaikan wanita cermin memeolototinya sebab lagi-lagi tak dia indahkan.

Hera hanya diam, tak berniat berfikir meski suara-suara di dalam kepalanya semakin penuh dengan kalimat-kalimat ajakan yang dirinya abaikan.


Tbc

Komentar

Postingan Populer