When I'm Awake [2] End
PERINGATAN!
Tubuhnya beku menyaksikan pemandangan di depan sana.
Sang ibu terbujur kaku di hadapanya.
Wajah cantiknya yang pucat. Matanya tertutup rapat-rapat dan apa lagi yang
lebih menyakitkan dirinya sesaat setelah ia memegang lengan sang ibu. Tak
percaya dengan kabar yang dirinya dapati dari rekan kerjanya. Dan sekarang ia
dipaksa percaya. Ia seperti di lempar pada lubang kenyataan, yang kejam, yang
sengaja di ciptrakan untuknya. Hanya untuknya.
Serta merta kulit sang ibu yang dingin menambah
kegetiran dalam dirinya. Kemana darah wanita itu? kemana perginya detak jantung
sang ibu? Kenapa mereka meninggalkannya? Kenapa mereka menghilang dan hanya menyisakan
jasad yang kurus tanpa warna?
Hera tahu setiap yang hidup pasti akan mati. Setiap
awal pasti akan berakhir. Ia tahu manusia terbatas di lingkupi ruang dan waktu.
Ia paham. Hanya saja, kenapa
datang secepat ini?
Hera teringat saat dirinya berlaku kasar pada sang
ibu. Membiarkan wanita itu dirundung kekecewaan setelah dirinya tahu sang anak
gagal menjadi dirinya sendiri. Wanita itu marah mengetahui sayatan di tangannya dan Hera hanya diam saja saat di teriaki.
Ibunya hampir-hampiran meraung dan menangisi hidupnya
sebab ia tak berkata apa-apa. Ibunya bertanya meskipun tahu pertanyaan itu tak
akan anaknya tanggapi. Ibunya paham anaknya. Ia kelewat paham sampai ke puncak
ubun-ubun. Sebab Hera tak pernah mau berbagi apa-apa padanya. Tak pernah mau
berbagi setidaknya hal yang singkat seperti senyuman atau sapaan.
Sedangakan Hera mengepalkan tangan. Mulutnya gatal
ingin melanting pembelaan meski itu tertahan di tenggorokan sebab ia tak yakin
suaranya akan lebih rendah dari sang ibu. Ia sadar terlalu banyak menentang. Ia
tahu sang ibu menangis di tiap malamnya dengan sebab yang ia pun tak
mengetahuinya. Mungkin sebab dirinya, mungkin sebab perekonomian keluarganya,
atau mungkin sebab ayahnya yang tega membanting stir, membiarkan mereka
menggelandang dan pergi mencari pelukan yang lebih tulus dari ibunya? Ia tak
tahu. Ia bahkan tak ingin memikirkan pria itu meski sang ayah berpamitan secara
baik-baik.
Tidak dengan saling meneriaki, tidak saling
menodongkan senjata seolah-olah mereka musuh bebuyutan yang akan melakukan
apapun untuk menghancurkan satu sama lain. Tidak ada kabut kemarahan. Hanya
menyisakan rasa hampa dan kecewa. Namun tak mengundang sesuatu yang akan
menyulut emosi. Meski ia tahu ayah dan ibunya akan berpisah, tapi mereka masih
bisa makan malam bersama saat itu. Seolah tak terjadi masalah apapun. Seakan berpisah
bukan sesuatu yang akan menjauhkan mereka dari satu sama lain. Seakan itu
hanyalah sesuatu yang normal meski mereka akan menjalani hidup yang baru.
Sidang percerayan itu selesai menyisakan sang ayah memeluk ibunya, membiarkan
ia menyaksikan kemesraan orang tuanya dalam diam meskipun memiliki kekecewaan
yang terpendam.
Ia tak paham, kenapa mereka memilih berpisah. Ia tak
paham kenapa sang ayah memilih pergi meski mereka terlihat masih saling
mencintai. Apa yang salah? Kenapa seperti itu? Ia memang belum dewasa, bahkan
usianya belum menginjak tujuh belas tahun saat itu. Dan adiknya tak tahu apapun
selain mereka akan di tinggalkan sang ayah pergi.
Dia tak tahu, mungkin orang tuanya pun sama saat ia
mendengarkan sang ibu menangis tersendu-sendu bersama sang ayah yang duduk di
sampingnya. Tak menyadari bahwa pintu itu meninggalkan celah untuk dirinya
menyaksikan dan mencuri dengar percakapan orang tuanya.
“Maaf, maafkan aku.” Ayahnya memulai dan sang ibu
hanya menggeleng tak menerima pernyataan itu.
“Aku yang salah. Aku benar-benar bersalah padamu dan
keluarga kita.”
Hanya kata-kata itu yang sempat dirinya ingat sebab
selanjutnya Hera hanya berhasil mencerna bahwa sang ayah mencintai wanita lain
di tempat kerja yang merupakan putri dari atasannya. Tak ada alasan lain
untuk menolak dan mempertahankan
keluarga selain pergi sebab ia memiliki tanggung jawab untuk dirinya hidupi di
perut wanita lain.
Dia hanya tak sanggup memikirkan apapun. Dia hanya tak
bisa menerima kenyataan bahwa keluarga yang diterimanya terlampau absurd. Terlalu
bobrok.
Ia tak berani menyalahkan orang tuanya, tak berani
membayangkan ia membenci mereka meskipun tanpa sadar ia melakukannya. Ia hanya
mampu menyalahkan dirinya sendiri. Mampu berani pada dirinya yang selalu
bertanya, Kenapa harus dia yang berada dalam keluarga ini?
Seseorang pernah berkata, Tuhan tak akan menguji
hamba-Nya di luar batas kemampuan. Mereka bilang, kau hanya harus bersabar
untuk bertahan hidup dan itu akan jauh lebih baik dari pada kau menyerah saat
menjalaninya. Dan orang itu bukan orang lain. Itu ibunya.
Wanita paruh baya itu mengingatkannya setiap malam,
sejak jaman dia sekolah menengah sampai ia lanjut bekerja. Ibunya selalu
memberi petuah untuknya atas apapun itu. Saat ibunya tahu keinginan Hera
berkuliah tidak kesampaian, sang ibu ada untuknya. Meski Hera tak benar-benar
merespon dengan baik sebab wanita itu keburu sibuk dengan dirinya sendiri.
Bertanya-tanya kenapa perceraian kedua orang tua itu
selalu mengusiknya. Selalu mengganggu setiap dirinya tiba-tiba terbangun dari
lelap dan dia tahu penyebab itu adalah dirinya.
Dirinya yang terlalu keras berfikir seakan dunia
selalu runtuh saat ia menginjaknya.
“Aku tahu itu sulit.”
Di suatu malam, wanita cermin itu berkata padanya.
Hera menoleh sebab ia tepat di sisi tubuhnya. Perlahan Hera turun dari ranjang,
menghadapi si wanita yang tersenyum hangat padanya dengan kepala
bertanya-tanya.
“Kau diriku?” Pertanyaan itu serupa pekikan tertahan.
Dia tak ingat kapan terakhir kali ada orang yang datang padanya dan mengatakan
banyak hal tentang hidup.
“Ya, aku dirimu. Tapi aku jauh lebih baik
darimu.”
Kerutan di kening Hera terpatri, lebih baik katanya?
Bercanda, yah?
Baik dari mananya? Bahkan tubuhnya tetap kurus kering.
Air mukanya tetap mengerikan dengan bekas keringat yang menempel di dahi.
Rambutnya bahkan seperti hantu yang tak pernah keramas selama mereka menjadi
nyawa liar yang sering menakuti manusia.
“Apa tujuanmu?” Hera benar-benar tak menanggapi
tentang ‘lebih baik’ apapun alasanya. Wanita itu benci membuang waktu begini,
berbicara dengan dirinya sendiri lewat cermin? Sumpah rasanya dia sudah
gila.
“Membantumu.” Kata itu terlanting sesaat ia masih
sibuk dengan mempertanyakan kewarasannya.
Apa yang wanita itu katakan? Membantu?
“Aku tahu hidupmu menjadi tak berarti di sini. Maka
dari itu aku menawarkan diri.”
Apa katanya? Sebuah cermin menawarkan diri
membantunya?
Hera tak bisa menahan diri untuk tidak tertawa. Wanita
itu mendengus meski Hera begitu koyol menanggapi dirinya.
“Kau cermin. Oke meski mirip denganku. Tapi kau
cermin! Ya ampun, bodoh sekali.” Hera menbawa rambut depannya ke belakang.
Tangan satunya ia letakan di pinggang seraya mendengus sebal. Sudah tak waras
cermin ini!
“Aku tak berbohong padamu. Tak seperti ayahmu. Tak
seperti ibumu. Tak seperti adikmu. Tak seperti orang-orang sekitarmu.”
Tiba-tiba kemarahan Hera menguap, apa lagi setelah ia
mendengar bagaimana orang itu menyebut anggota keluarganya seperti penghinaan.
Seperti melayangkan pukulan telak bahwa sekarang ia memang sendiri. Tanpa ayah
yang selalu memberikan senyum dan elusan di ubunnya. Tanpa ibu yang memberi
banyak perhatian sebab ia merasa semua itu sudah di tumpahkan pada sang adik
yang bagusnya mendapat beasiswa di sekolah. Sampai sang ibu selalu memberi
banyak perhatian penuh yang mungkin tak wanita itu sadari. Yang mungkin tak
wanita itu pahami bagaimana sakitnya ia
saat mereka berdua tertawa membahas nilai sang adik yang bagus. Ulangan yang
tak pernah gagal dan memberinya perhatian penuh saat Hiccap sakit.
Hera benci merasa tersisihkan. Yang sebagian akal
sehatnya berkata bahwa ini pemikiran yang keliru. Seharusnya ia ikutan bangga
atas keberhasilan Hiccap. Harusnya ia senang meski ia tanpa sadar mengisolasi
diri dari mereka, ibunya masih tetap tersenyum. Masih bisa tertawa meski
malamnya sang ibu merenung.
Ia tak bisa maju. Ia hanya tak bisa mendekap sang ibu
dan memberi banyak perhatian untuknya.
Hera hanya mampu bertanya-tanya saja dengan segala hal
yang menimpanya, ia masih tak bisa menerima sang ayah pergi hanya karena
perempuan lain. Kepalanya penuh bertanya-tanya tentang mereka. Apa karena
ibunya yang kurang menarik? Apa karena ibunya yang tidak bisa menjaga diri? apa
karena apa yang membuat mereka seperti itu?
Ia membenci dirinya. Ia membencinya saat berpikir
ayahnya merupakan pria berengsek yang tak bisa menjaga sperma. Ia benci saat
ia mampu memaki-makinya setiap ia memiliki kesempatan untuk menuduh keduanya.
Menganggap mereka orang tua yang tak kompeten, yang hanya memikirkan diri
mereka, yang hanya melindungi diri masing-masing dengan jubah percerayan.
...
“Aku berharap kamu tahu dimana posisi keluargamu
berada.”
Suatu hari wanita itu datang ke kafe tempatnya
bekerja. Sengaja menemuinya dan berkata sarkatis tentang keluarganya yang harus
pergi dan ancaman semacam itu yang selalu dirinya terima.
Hera memang tak pernah benar-benar bertemu dengan sang
ayah sejak hari dimana pria itu memeluk sang ibu dan melempar senyum padanya.
Tapi teror istri barunya mengusik keluarganya_atau mungkin dirinya saja. Sebab saat
itu sang adik masih baik-baik saja di sekolah. Dan sang ibu juga baik-baik saja
di tempat kerjanya.
Remaja itu hanya mampu menebak-nebak hubungan macam
apa yang wanita ini dan ayahnya jalini. Kenapa istrinya itu seolah ketakutan
sang ayah kembali pada keluarganya meski mereka telah mengikat leher
masing-masing dengan pernikahan, bahkan seorang anak. Itu artinya memang kedekatan
mereka tak sebaik itu. Meski ia tak tahu kenapa ayahnya memilih menyerah pada
keluarganya alih-alih bertahan kalau masih saling mencintai.
“Maaf nyonya. Memangnya anda memandang keluarga saya serendahan
apa?” wanita itu mulai menaggapi. Sedikit keterlaluan memang. Tapi apa salahnya jika ia ingin membela diri?
“Kami tahu ayah saya berhianat dan sekarang istri sahnya datang
mengancam salah satu anak suaminya?” Hera tahu ini tak sopan. Tapi ia muak. Ia
muak dengan hidup dan dramanya. Ia muak dengan alur cerita takdirnya hingga ia
mengumpulkan keberanian untuk berkata, “Atau anda masih cemas suami anda masih
mencintai mantan istrinya?”
Tentu saja wanita itu tak tinggal diam. Ia menampar
Hera. Untuk pertama kali dalam hidupnya mendapat tamparan mentah dari istri
ayahnya. Bahkan mereka baru saling bertemu dan Hera bahkan tak ingat siapa namanya, wanita ini hanya
datang, meminta ijin berbicara dengannya. Hera hanya ingat wajahnya yang
benar-benar tak sengaja ia lihat saat televisi menyala dengan tampang maskulin
sang ayah menjadi sorotan di layar dengan seorang wanita seperti ini.
Kita bahkan telah sepakat untuk tak melibatkan apapun
yang berhubungan dengan ayah. Bahkan ibu, adiku dan aku sudah berjanji untuk tak
saling mengenal. Dan mengangap ayah kita sudah mati.
Aku tahu ini menyesakan, tapi apa yang bisa kami
lakukan. Berengsek memang sebab pria itu benar-benar tak pernah menghubungi kami
lagi. Bahkan Hiccap cukup paham dengan situasi yang terjadi pada keluarganya dan
ia berhasil menurut saja.
Tapi jelas inilah puncaknya. Ekonomi menjadi alasan.
Dan Hera harus menjadi wanita yang lebih banyak menghasilkan uang sebab sang
ibu tak bisa menopang keduanya lagi. Menginjak usia dua puluh tahun, Hera pergi dari rumah untuk menghasilkan banyak
uang. Meski sebenarnya tak sampai seperti itu sebab Hera juga harus menjalani
jadwal terapi. Saat sang ibu menemukan dirinya terjatuh di depan cermin dengan
tangan tersayat dan darah mengalir di mana-mana, tentu saja itu sudah bukan
sesuatu yang menyenangkan. Sesuatu yang remeh-temeh hingga membiarkannya
seperti itu.
Ibunya murka selepas ia sadar dan menangis
tersendu-sendu menyalahkan dirinya sendiri yang mengatakan telah gagal dalam mendidik anak.
Hera tahu dia pengecut. Ia malu dengan ibunya dan
adiknya. Ia malu sebab tak berhasil mengakhirinya. Dia malu akan hal ini hingga
hatinya tertutup.
Ini menjadi akhir. Bagaimana wanita itu hanya bisa pasrah atas kemarahan adiknya yang tertuju padanya tentang sang ibu. Ia terima itu dengan baik. Karena dirinya yang sibuk dengan dirinya sendiri hingga mengabaikan mereka. Mengabaikan pesan sang adik tentang ibu yang ingin bertemu. Tentang semua hal yang terjadi di rumah hingga saat itu.
Namun sekarang, ia sadar Hiccap masihlah adiknya. Masih bagian dari keluarga sedarahnya. Kepergian sang ibu hanya menyisakan penyesalan. Luka itu mengaga, apa lagi saat ia tahu adiknya terjerumus di dunia yang sama.
Hera bingung, harus dengan cara apa ia bersikap saat
mengetahui dua butir molly terselip apik di saku jaket sang adik. Ia bahkan belum mampu mengatasi dirinya
sendiri.
Meski ia tahu bahwa dirinya bukan perempuan yang baik.
Tapi tidak untuk sang adik. Hera masih berusaha menjaga sang adik untuk tidak
ikut terjerumus bersamanya. Cukup dirinya saja. Cukup dia, jangan adiknya.
Maka saat menyadari handphonenya berkedip-kedip,
perempuan itu tak membutuhkan waktu lama untuk kembali menyambar kaos yang
tergeletak di lantai. Rasa linu kembali menyeruak meski berusaha ia hiraukan.
Hera akan menarik adiknya. Menarik adiknya kembali untuk
menjadi pria yang jauh lebih baik dari dirinya. Meski malam itu gerimis menyerang. Namun ia tak sanggup membiarkan sang adik masuk dalam kubangan candu
lebih lama. Wanita itu meninggalkan kamar yang berserakan di penuhi serpihan
cermin di mana-mana. Ia tak sempat mengambil payung untuk berjaga-jaga jika
seandainya hujan turun semakin banyak. Yang ia pedukukan hanya pesan yang
disampaikan teman Hiccap yang wanita itu percayai. Ia hanya ingin Hiccap
kembali. Ia hanya ingin adiknya tak seperti dirinya.
Dan kerumunan itu menjadi akhir dari penglihatannya sebelum ia benar-benar menutup mata dan telinga. Seseorang sudah membelah kerumunan, menyambar tubuhnya yang semakin lemah dan berteriak dengan keras, “ HERA! TIDAK. BANGUN! JANGAN TINGGALKAN AKU!”
FIN

Komentar
Posting Komentar
Anda dapat berkomentar apapun