Cerita di tanggal 29

 

 

Foto original by me

"Mungkin skenarionya harus berawal dari sini. Mana tahu ke depannya tiba-tiba dihujani durian runtuh."

 

Saya tertawa miris menyaksikan keadaan diri sendiri.  Setelah saya masuk ke ruang kantor, saya melihat refleksi wajah di depan laptop yang mati.

Pameran bonsai di bawah sana masih ribut dengan manusia-manusia berwajah asing. Berjejer pohon kecil meliuk-liuk yang di buat tangan-tangan berseni. Tenda besar terpasang di pinggir lahan. Satu panggung di rakit dengan pengeras suara besar di kanan-kiri. Sekilas saya melihat suami istri berbincang-bincang di depan pohon yang dijumpainya. Saya juga bisa melihat kades dan lima orang asing yang ikut menemaninya, melipat tangan di depan dada, bercakap-cakap ria mengabaikan biduanita yang bernyanyi di belakang sana.

Setelah itu isi kepala saya kembali pada benda di depan saya yang mati beberapa detik lalu. Saya bingung harus melakukan apa. Kepala saya penuh di hari minggu dan saya benci saat hari libur saya terganggu. Sebab saya harusnya bisa tidur seharian di kamar temaram milik saya. Menutup pintu rapat-rapat. Mengabaikan keributan adik dan teman-temann di ruang utama. Kembali mengabaikan adik laki-laki saya juga yang terus-terusan menyuruh saya pergi ke surau untuk latihan marawis. Mengabaikan perencanaan rajaban yang harus segera diselesaikan. Menutup kebisingan dengan selimut. Menutup mata dan memaksa otak saya berhenti bekerja dengan dekapan kasur seharian.

Setelah membereskan data PIP siswa yang harus selesai hari itu juga. Saya malah berfikir lagi. Seolah kurang nikmat yang telah saya dapatkan saat diam-diam merasa iri pada anak-anak yang mendapatkan rezeki lewat sisitem yang telah saya salin berulang kali. Melihat nominal satu juta tertera di layar, saya jadi teringat biaya PKL di kampus.

“Seandainya kamu punya satu miliar, uang segitu kecil saja.” Tiba-tiba ucapan mamah merangsek kepala. Teringat saat tak sengaja membuka zoom dan mau tidak mau secara 'langsung' saya malah membocorkan biaya yang harus di keluarkan untuk keperluan nilai, malam itu.

Saya tak mau membicarakan apapun meskipun mamah terus membahas topik yang sama terkait PKL dan jogja keesokan harinya. Tangannya berkutat membuat adonan cilok. Meski begitu ia tak merasa terganggu dan terus menciptakan runtutan kata. Tapi untungnya, deringan telepon memutilasi pembicaraanya. Saya diam-diam bersyukur sebab tak perlu membuat drama di pagi hari. Saya angkat, mengabaikan mama dan pergi ke kamar, bergumam saat paham dengan apa yang di sampaikan, mengambil jaket, mengambil kerudung secepat mungkin.

Sebelum sempat beranjak mamah saya sudah mencegat di ambang pintu. Tangannya masih di penuhi putih-putih tepung tapioka yang mengering di balik telapak tangan dan jari-jarinya. Menghadang langkah saya sebelum bertanya, “Mau kemana?”

Saya mengalihkan pandangan, memeriksa kembali isi pesan untuk memastikan. “Sekolah.”

 Suara pertama yang saya keluarkan. Meski dada saya tiba-tiba panas, saya berang tak tahu kenapa. Dan sebelum saya meyakinkan diri untuk benar-benar pergi, intrupsi mamah lebih dulu menghantam telinga.

“Tunggu dulu. Kamu ke sekolah dengan pakaian begitu?” Nadanya  sarkastis. Saya tak perlu kamus untuk menerjemahkan suara mamah yang terdengar jengkel dan saya sudah menebak apa yang akan mamah lontarkan tiap kali situasi ini terjadi. Mama berbicara panjang lebar terkait garmen yang saya kenakan. Celana tidur kuning bergambar boneka-boneka panda seakan mengejek. Kaos hitam candi prambanan makin monoton meski tertutup jaket merah kebesaran. Muka saya baru di bilas sebelum mengenakan pelembap dan masih, suara mamah saya lebih besar dari kerudung XL hitam yang saya kenakan.

Mamah mengungkit setiap hal yang saya lakukan terlebih pakaian. Mengungkit kembali cerita-cerita cetek tentang saya yang memakai daster kemanapun tanpa peduli tatapan orang, katanya. Mamah bilang ia tak masalah terkait busana. Tetapi makin di biarkan katanya saya malah makin menjadi. Kembali membicarakan tentang adab dan wanita perawan. Dia berbicara banyak dan saya juga tahu isi kepalanya lebih mendidih dibanding teko uap di dapur sana. Mamah bilang ia menghormati kalimat saya tentang kenyamanan berbusana. Tapi puncak perkataan itu terendap di dalam kerongkongan. Desisan sebal tak saya keluarkan lagi sebab rasa pening menyerang, perut saya melilit, otak saya tiba-tiba kosong. Satu-satunya yang saya sadari hanyalah kepalan tangan yang semakin mengerat.

Bokong saya sudah panas duduk di kursi sembari ingat kejadian hangat dua jam lalu di rumah. Telinga saya kehilangan kontak sebelum suara orang memanggil nama pelan-pelan merayap. Kembali tersadar, menolehkan kepala melihat teman kerja di belakang yang bilang, “Kamu salah memasukan nomer surat.”

Mengerjap sekilas, buru-buru menyalakkan laptop kembali memperbaiki apa yang menjadi kesalahan. Mengabaikan rok denim di bawah sana yang terasa kaku. Sembari mengetik, kepala saya pun tak berhenti menulis satu kalimat yang mamah ucapkan sebelum saya memutuskan pergi. 

Mamah mengambil nafas berat, ia menjeda ucapan yang dari tadi tak pernah berhenti terlontar. Mamah bersuara melemparkan ultimatum terakhir kali sekan menyerah membujuk saya berganti. Suara pelannya membuat dada saya tersentak, sedikit banyak dia memberikan hantaman keras pada otak kecil saya. Suara goyang yang terdengar putus asa namun masih menyisakan nada tinggi saat bersua,

“_tapi setidaknya hargai dirimu sendiri!”

 

31 Januari 2023


Thirddxs

Komentar

Postingan Populer