Kacang dan adam
〰〰〰
13 Agustus 2023
Saya terbangun untuk bangkit dan
mengambil nasi. Mama saya pergi keluar dan rumah terasa sepi saat sadar semua
orang tak ada yang tinggal. Kecuali saya yang bangkit pukul sembilan.
Perut saya melilit dan menyadari
rintihan sakitnya dengan sebab yang tidak pernah saya ketahui sebenarnya. Tapi
mungkin itu kopi tadi malam yang saya teguk. Atau sesuatu yang lain seperti
seblak atau makanan sejenisnya yang saya konsumsi kemarin siang. Yang pasti
saya sudah masuk toilet dan jongkok di kloset dua kali pagi ini sebelum
merenungkan isi usus yang kosong.
Saya bangkit kembali dari baringan
yang seharusnya sudah saya lakukan sejak tadi. Menemukan bahan makanan yang
sedikit membusuk tapi masih bisa di konsumsi, mungkin. Jadi saya masak
alakadarnya meskipun saya tak memiliki keahlian dalam bidang itu. Hanya ingin
memuaskan hasrat sendiri. Untungnya mamah saya tak sampai tega untuk tidak menanak
nasi sebelum hilang entah kemana.
Saya niat makan dengan santai
seperti biasa. Kangkung coklat menjadi hasil masakan yang saya banggakan hari
ini. Sabtu mengingatkan saya untuk tak perlu mandi pagi ketika terdengar suara
ribut di luar sana.
Kunyahan nasi bahkan masih belum 20 kali saat saya menemukan anak-anak yang merecok di depan rumah. Namun itu seharusnya bukan menjadi sesuatu yang langka. Meskipun beberapa kali adik perempuan saya kedapatan mendengus saat saya kembali bekerja dan pindah ke rumah temannya yang lain seraya bilang, “Ayo, kita pergi. Dia pulang!”
Suatu hari juga adik saya pernah pernah berkata, “Ayo pindah. Dia akan marah kalo kita di sini!”
Pendengaran saya masih baik. Jadi
saya akan memastikan apa yang bocah itu katakan merupakan kebenaran meski saya sempat terheran-heran. Kenapa adik saya sering begitu tiap kali saya pulang?
Suatu waktu pertanyaan itu terjawab
di hari Jumat. Mamah saya pulang lebih awal dari pekerjaannya saat saya juga
mendapat hal yang sama. Mama hanya terkekeh saat saya mengerutkan kening ketika adik saya kembali
menghardik melalui mulut kecilnya saat dia pergi bersama teman-temannya yang
lain. Memboyong serta merta mainan barbie
yang dimilikinya, menyisakan tatapan sinis yang menjengkelkan.
Saya bunging, tapi itu tak
bertahan lama saat mama saya datang menyambut di dalam rumah dan bilang,
“Adikmu begitu karena dia tau kamu akan mengamuk lagi.”
Saya hanya mengerutkan kening tambah
bingung. Tapi kejadian hari-hari sebelumnya mengingatkan tentang kehebohan adik
saya dan taman-temannya di dalam rumah.
Saya berteriak meminta mereka semua diam sebelum membanting pintu kamar
yang sudah rusak engselnya.
Perkataan mama saya menjadi valid
saat saya diam-diam menyadari itu.
Tapi hari ini pun tetap tak jauh
berbeda. Sekeras apapun saya mencoba, suara anak-anak yang menjengkelkan itu
tetap saja keluar seperti toa yang akan membuat telinga pecah. Selain itu,
mustahil saya bisa berteriak-teriak lagi membuat mereka diam dan menyingkir
dari halaman rumah. Karena ini pagi hari yang menyenangkan dan seluruh
urat-urat saya baru dipakai untuk memasak dan makan. Tenaga saya hampir habis
meski kekuatan saya tetap tak keberatan untuk berdiri membuka pintu dan
meludahkan kata-kata makian. Suara saya masih mampu untuk berdebat dengan anak
SD yang rata-rata berusia 8 tahun itu.
Tapi tertegun. Kunyahan saya
berhenti di suapan kelima saat telinga saya terkontaminasi dengan pikiran yang
aneh.
Baiklah. Sekarang rasanya piring
saya berubah menjadi muntahan ketika teriakan anak-anak meraung tinggi. Saya
memaklumi mereka yang masih belajar mengejah. Itu usaha yang baik untuk berlatih
membaca dan menghilangkan buta aksara. Tapi saat penis pria di eja berulang
kali. Di ucapkan sambil tertawa-tawa di jadikan lelucon tebak-tebakan, mampu
mengosongkan kepala saya.
“Apa ini. Ada apa dengan mereka ini?”
Saya sadar edukasi seksual sangatlah
penting bagi setiap anak. Apalagi saat berita memenuhi timeline beranda
yang menyatakan banyak sekali kejadian di luar sana yang mengarah pada
pelecehan seksual, perundungan, dan hal-hal sejenis yang dilakukan manusia.
Tapi saat hal itu terucap oleh
anak-anak perempuan yang dengan entengnya mengeja dengan satu anak laki-laki
yang menjadi bahan ledekan. Saya hanya bisa tertegun.
Saya tak tahu hilang kemana ledakan
amarah yang di tumpuk di dalam kepala beberapa detik lalu. Kemana kata-kata
kasar yang berniat saya muntahkan setelah membuka pintu. Hanya kosong yang
tersisa. Saya sadar kunyahan nasi masih terkemam di dalam mulut dan tangan saya
masih mengkilap berlumuran minyak tumis kangkung. Kerah kaus hitam melorot di
bahu sebelah kiri. Saya menatap kaca
depan rumah sampai suara-suara itu perlahan menghilang dengan tawa yang selalu
saya maki tiap terdengar.
“Dunia ini. Apa saya melewatkan
sesuatu?” []


Komentar
Posting Komentar
Anda dapat berkomentar apapun